Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melarang social commerce seperti TikTok Shop berjualan, usai dianggap merugikan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri.
Keputusan itu diambil usai banyak barang jualan pedagang asli Indonesia di toko offline maupun marketplace lainnya kalah saing dengan produk Tiktok Shop yang sangat murah.
Alasan lainnya, jika social commerce dan e-commerce disatukan, maka hal itu akan sangat menguntungkan pihak platform. Sebab, platform mengantongi algoritma pengguna yang bisa digunakan untuk mengatur iklan kepada yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Larangan itu nantinya akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Rencananya, revisi beleid itu akan disahkan hari ini, Selasa (26/9).
"Disepakati besok, revisi Permendag nomor 50 tahun 2020 akan kami tanda tangani. Ini sudah dibahas berbulan-bulan sama Pak Teten (menteri koperasi dan UKM)," kaya Zulkifli di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (25/9).
Zulhas menyebut dalam revisi aturan itu, social commerce hanya diperbolehkan untuk melakukan promosi barang dan jasa saja. Artinya platform tersebut dilarang berjualan secara langsung.
Selain itu, pemerintah akan memisahkan social commerce dengan e-commerce. Artinya, tidak boleh ada platform seperti TikTok yang menjadi sosial media dan e-commerce secara bersamaan.
Pemerintah juga akan membatasi produk impor yang bisa dijual di e-commerce hanya boleh di atas harga US$100.
"Kalau ada yang melanggar seminggu ini, tentu ada surat saya ke Kominfo untuk memperingatkan. Setelah memperingatkan, tutup," tandas Zulkifli.
Lantas, efektifkah aturan ini?
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan meski larangan tersebut bertujuan untuk melindungi UMKM, namun akan berpotensi tidak efektif karena melawan arus perkembangan teknologi.
Menurutnya, perkembangan teknologi tidak bisa dilawan sehingga yang harus dilakukan adalah meregulasinya.
Regulasi yang diterapkan untuk social commerce maupun e-commerce bisa berupa memastikan kepatuhan pajak, pembatasan produk impor, kewajiban sertifikasi halal, dan lain-lain.
"Dengan regulasi, kita akan membuat persaingan yang sehat, menjaga level of playing field yang setara antara social commerce dengan platform social media dan platform e-commerce," katanya kepada CNNIndonesia.com.
Ia menambahkan social commerce memiliki keunggulan dengan algoritmanya yang akan menuntun konsumen terdorong untuk membeli produk tertentu. Social commerce juga memberikan pengalaman berbelanja yang berpotensi membuat konsumen melakukan impulsive buying.
Kondisi tersebut, akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam mengedukasi konsumen sekaligus menjadi dorongan bagi e-commerce untuk terus berinovasi.
"Ini menjadi dorongan bagi e-commerce tradisional agar mereka memperbaiki model bisnisnya agar bisa bersaing dengan social commerce," kata Yusuf.
Konsultan Bisnis DK Consulting Djoko Kurniawan menambahkan pemerintah sebenarnya bisa saja membatasi produk impor yang bisa dijual di e-commerce hanya boleh di atas harga US$100 atau Rp1,5 juta (asumsi kurs Rp15.412 per dolar AS).