Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai masyarakat tidak bisa menjadi kambing hitam jika tergiur barang-barang murah. Menurutnya, sudah menjadi naluri manusia membeli produk dengan harga yang lebih terjangkau, sehingga sudah tak peduli lagi dari mana asal barang tersebut.
"Bukan perkara terkait penjajahan atau tidak, tetapi bagaimana pertahanan kita selama ini terhadap penjajahan tersebut? Pertahanan ini bukan sekadar persoalan menahan barang impor tidak masuk ke Indonesia, tapi juga bagaimana kita sampai hari ini masih kesulitan menghasilkan barang yang serupa dengan harga lebih kompetitif (murah). Ini yang seharusnya bisa disampaikan juga oleh Pak Presiden (Jokowi)," beber Andry.
"Kita memang perlu aware tentang produk yang datang ke Indonesia dari luar dan banjir barang murah tersebut, tapi kita juga harus setidaknya berbicara bagaimana bisa menghasilkan produk berkualitas dengan harga terjangkau," sambungnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Namun, ia paham persoalan menghasilkan barang lokal dengan kualitas dan harga bersaing perlu perjuangan. Pasalnya, upaya ini mencakup banyak aspek, seperti produktivitas tenaga kerja, mahal dan sulitnya mendapatkan bahan baku, hingga tingginya tarif listrik industri.
Oleh karena itu, Andry meminta Jokowi juga fokus bagaimana mendorong produsen lokal membuat barang substitusi dari produk impor. Ia berharap pemerintah jangan cuma bisa melarang masyarakat tergiur produk murah tanpa memberikan solusi.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan algoritma TikTok Shop bisa membaca kebiasaan penggunanya. Pada akhirnya, media sosial China itu berbuah data yang digunakan untuk menggambarkan keinginan konsumen di Indonesia.
Inilah yang menjadi ketakutan seluruh negara terkait Project S di TikTok Shop. Jika cara main tersebut diizinkan, TikTok bisa meraup cuan sangat besar dari pasar di Indonesia dengan mengirimkan produk kesukaan warga Indonesia langsung dari China.
"Yang saya perlu tekankan kita belum memiliki regulasi terkait pengaturan algoritma. Jadi, penggunaan algoritma dalam perdagangan yang terjadi dalam fenomena social commerce kemarin itu hampir tidak dibicarakan oleh pemerintah. Pemerintah hanya fokus bagaimana menyelamatkan pedagang tradisional tanpa memperlihatkan bahwa sebegitu masifnya algoritma terhadap behaviour kita terhadap mengonsumsi barang," kritik Andry.
"Karena kalau kita pindah ke e-commerce, mereka juga akan melihat behaviour kita. Apa yang kita butuhkan, mereka sudah pasti tahu. Jadi terkait keamanan dan penggunaan data, regulasi algoritma, itu menurut saya harus sejalan dengan perlindungan konsumen dan produsen dari ancaman produk-produk impor," sambungnya.
Andry mendesak pemerintah harus segera membahas tentang cara main algoritma atau izin e-commerce dalam membaca minat pelanggannya. Menurutnya, pembahasan ini kudu melibatkan stakeholder terkait.
Meski regulasi di Indonesia kerap terlambat, Andry berharap pemerintah bisa terus mengejar, setidaknya tidak terlalu jauh dengan inovasi digital saat ini.
"Ini menurut saya yang setidaknya menjadi bentuk pertahanan kita (dari penjajahan ekonomi). Jangan hanya bicara fenomena saja, tapi jalan keluarnya harus dihadirkan, dalam hal ini oleh Presiden," tandasnya.