Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kebocoran distribusi LPG subsidi tak lepas dari skemanya itu sendiri.
Ia berpendapat skema subsidi terbuka kerap menjadi biang kerok penyalahgunaan LPG 3 kg.
"Kebocoran itu karena sistem distribusi. Dari sejak awal, sistem distribusi LPG 3 kg terbuka dan rencana pemerintah mengubah jadi tertutup tidak pernah tercapai," kata Fabby.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah memang beberapa kali mewacanakan mengubah skema distribusi LPG 3 kg menjadi tertutup. Kementerian ESDM sempat menegaskan pembelian LPG 3 kg wajib menggunakan KTP per 1 Januari. Nyatanya, hingga saat ini hal itu tak pernah terjadi.
Terkait isu keterlibatan petinggi parpol dalam distribusi LPG 3 kg, Fabby mengatakan hal itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, tidak ada larangan terkait praktik tersebut.
"Sebenarnya tidak salah jadi agen, walaupun politisi, karena tidak ada larangan. Jadi masalah kalau yang bersangkutan memakai statusnya sebagai tokoh parpol atau anggota DPR untuk mendapatkan kemudahan dan kuota penyaluran LPG 3 kg," kata Febby.
Ia pun meminta pemerintah untuk segera mengubah skema subsidi menjadi tertutup. Hal ini demi mencegah penyelewengan sumber daya energi tersebut.
Berbeda dari Fahmy, Fabby tetap menyarankan pemerintah agar pembeli LPG 3 kg membawa KTP.
"Lakukan (subsidi) secara tertutup. Dilakukan oleh agen terdaftar resmi dan yang boleh membeli harus pakai KTP dan masuk dalam rumah tangga miskin yang ada di basis data terpadu kemiskinan di Kemensos," ucap Fabby.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga berpendapat masalah kebocoran distribusi ini memang menjadi masalah yang berlarut-larut dan sangat terlihat bahwa pemerintah tidak mau secara serius menyelesaikannya.
Ketidakseriusan pemerintah terlihat dari tidak adanya perangkat hukum yang mengatur dengan jelas siapakah yang benar-benar berhak untuk membeli LPG 3 kg bersubsidi.
Karenanya, Daymas mengingatkan pemerintah untuk segera mengatur hal tersebut. Mengingat kerugian dari bocornya 1,5 juta ton LPG 3 kg itu mencapai Rp25 triliun.
"1,5 juta ton gas LPG itu senilai Rp25 triliun lebih," ujarnya.
Di sisi lain, untuk mencegah penyelewengan LPG 3 kg, Daymas mewanti-wanti agar pemerintah mendorong solusi sumber energi untuk kebutuhan rumah tangga menyesuaikan dengan lokasi masyarakat.
"Contohnya seperti kompor tenaga surya untuk (masyarakat) yang di daerah-daerah pesisir, atau kompor charcoal rendah emisi untuk masyarakat yang dekat dengan lahan perkebunan/pertanian," imbuhnya.
Daymas pun menyinggung sejak 15 tahun lalu masyarakat dipaksa untuk bergantung hanya menggunakan LPG sebagai sumber energi kebutuhan rumah tangga. Pemerintah tidak membuat program bauran energi yang signifikan.
Ia menyebut program pembangunan jaringan gas kota (jargas) yang digadang-gadang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat akan LPG pun tidak digarap dengan serius.
"Coba bisa digalakkan seperti saat konversi minyak tanah ke LPG di 2005 lalu," ucap Daymas.