Presiden Joko Widodo menyebut pendanaan transisi energi dari negara maju justru menjerat negara miskin dan berkembang dalam tumpukan utang.
Pernyataan itu ia sampaikan saat Kuliah Umum di Stanford University, AS pada Rabu (15/11). Jokowi mengatakan tumpukan utang itu terjadi akibat pola pendanaan yang diberikan negara maju masih mirip dengan yang diberikan oleh bank komersial yang memberlakukan bunga tinggi.
Padahal katanya, kalau benar negara maju berniat positif dalam melakukan dan mendukung transisi energi, harusnya pendanaan yang disediakan bersifat konstruktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tahu semuanya sampai saat ini, sampai saat ini yang namanya pendanaan iklim (transisi energi) masih business as usual, masih seperti commercial bank. Padahal seharusnya lebih konstruktif, bukan dalam bentuk utang yang hanya akan menambah beban negara-negara miskin maupun berkembang," katanya dalam Kuliah Umum di Stanford University, AS pada Rabu (15/11).
Selain kritikan itu, Jokowi mengatakan selama ini proses transisi energi di dunia masih sebatas wacana saja. Transisi belum mengarah ke aksi nyata.
Hal itu kata Jokowi berbeda dengan yang dilakukan Indonesia. Ia mengatakan komitmen transisi energi Indonesia tak perlu diragukan.
Ia menyebut Indonesia 'Walk the talk, not talk the talk'.
Ia memamerkan bahwa Indonesia sudah berbuat banyak untuk pindah dari energi kotor ke energi bersih. Dengan target Indonesia bisa mencapai net zero emission atau bebas emisi karbon pada 2060 nanti.
Sang Kepala Negara itu menyebut Indonesia sukses menurunkan emisi karbon 91,5 juta ton pada 2022 lalu. Kemudian, menekan laju deforestasi seluas 104 ribu hektare, merehabilitasi 77 ribu hektare kawasan hutan, dan merestorasi 34 ribu hektare hutan bakau yang seluruhnya dikerjakan dalam waktu setahun.
Lihat Juga : |
"Kita tahu dunia kini tengah sakit. Perubahan iklim dan transisi energi adalah isu yang sangat-sangat mendesak. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah negara-negara di dunia memiliki komitmen untuk bertanggung jawab dan mengambil peran?" tanya Jokowi.
Jokowi menegaskan pentingnya pendanaan dan transfer teknologi dalam urusan transisi energi. Oleh karena itu, ia menekankan negara berkembang butuh investasi yang sangat besar.
Ia menuntut transfer teknologi dan kolaborasi dari para negara maju, termasuk investor yang masuk ke tanah air.
"Indonesia ingin memastikan transisi energi juga menghasilkan energi yang bisa terjangkau oleh rakyat dan masyarakat," tegasnya.
"Dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin mengancam saat ini, kolaborasi sangat penting serta langkah strategis dan konkret sangat dibutuhkan. Tanpa itu, tidak mungkin bagi kita menjamin keberlanjutan satu-satunya bumi yang kita cintai. We can't no longer take a slowly walk, we must run fast, we must fear the tree," tutup Jokowi disambut riuh tepuk tangan.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta bantuan Presiden AS Joe Biden untuk mendukung pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia. Ini adalah bagian dari langkah transisi energi.
Itu disampaikan Jokowi saat bertemu Biden di Gedung Putih pada Senin (13/11). Keduanya disebut sepakat soal pentingnya pendanaan untuk suntik mati PLTU dari Just Energy Transition Partnership (JETP).
JETP adalah salah satu kesepakatan dari negara maju alias G7 yang berjanji membantu transisi energi Indonesia. Pendanaan JETP sebesar US$20 miliar atau setara Rp314 triliun disepakati dalam KTT G20 di Bali pada November 2022 lalu.
Sayang, pendanaan tersebut nyatanya bukan bersifat hibah, melainkan pinjaman alias utang.
Selain Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan adalah orang yang paling getol menagih duit Rp314 triliun ke AS dan negara G7. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga kerap menyinggung kesepakatan JETP dalam beberapa kesempatan.