Kementerian Perindustrian mengungkapkan proyek energi baru terbarukan (EBT) menelan biaya yang cukup besar.
Ini diungkapkan Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Andi Rizaldi yang mewakili Menperin Agus Gumiwang dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, Senin (20/11).
Ia mengatakan biaya besar itu tidak cukup dipenuhi dengan anggaran negara, tapi juga sumber lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebutuhan ini, di antaranya dapat dipenuhi melalui pinjaman atau hibah luar negeri dari berbagai development financial institution. Namun, implementasinya harus disesuaikan dengan regulasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN)," sambung Andi.
Andi mendesak setiap pengadaan barang dan jasa dari proyek EBT mendukung penggunaan produk dalam negeri. Ia menyebut sumber pendanaan itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk pinjaman atau hibah dari dalam atau luar negeri.
"Ketentuan penggunaan produk dalam negeri ini sudah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, khususnya Pasal 86. Ketentuan yang sama juga diatur dalam PP Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri khususnya pasal 57 yang redaksionalnya sama dengan pasal 86 UU Perindustrian," tandasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan pihaknya terus berupaya mencari solusi pembiayaan dan pendanaan transisi energi. Anak buah Menkeu Sri Mulyani itu menegaskan pentingnya prinsip adil dan terjangkau.
Febrio menyebut pihaknya terus mendorong prinsip tersebut di forum internasional maupun domestik. Ia menegaskan konteks keadilan berada dalam posisi transisi energi bukan hanya Indonesia, tapi juga negara lain di luar sana.
"Jadi, dialog kita dengan negara-negara maju terutama dan juga sesama, kita selalu mengemukakan kebutuhan transisi energi itu harus adil. Prinsip ini bukan untuk Indonesia saja, tapi mayoritas negara dunia," jelas Febrio.
"Di forum internasional kita selalu katakan bahwa kalau global bisa membantu dan berpartisipasi dalam transisi energi di Indonesia secara adil dan terjangkau, maka ini akan membuat proses transisi yang sama di banyak negara menjadi visible. Ini prinsip yang kita bawa ke domestik," tutupnya.
Setelah pemaparan pemerintah, Anggota Komisi VII Fraksi PKS Mulyanto merespons soal tuntutan TKDN. Ini sejalan dengan yang disuarakan Kementerian Perindustrian.
Mulyanto mengatakan berbahaya membiarkan RUU EBT memasukkan kata fleksibilitas untuk urusan TKDN dalam setiap proyek transisi energi.
"Tak bisa fleksibel. Harus jelas, tegas, dan terukur. Karena kalau dikasih fleksibilitas nanti di lapangan larinya ke mana-mana, bahaya untuk TKDN kita," tegas Mulyanto.