Di lain sisi, Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari menganggap lumrah kenaikan harga pangan dalam suatu periode tertentu. Akan tetapi, masalah vitalnya adalah bagaimana respons pemerintah dalam memitigasi krisis pangan tersebut.
"Di negara-negara lain, seperti India, China, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Pakistan, semua negara tersebut telah memiliki sistem pengamanan pangan dalam negeri dengan memperkuat cadangan pangan nasionalnya," ungkap Syaiful.
"Mereka melakukan riset dan pengembangan teknologi dengan investasi cukup besar untuk memperkuat cadangan pangan nasional. Sedangkan Indonesia, sampai saat ini tidak ada political will dari pemerintah untuk memperkuat cadangan pangan nasional. Akibatnya, ketika terjadi krisis pangan bingung mencari sumber pangan dari mana," kritiknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian menyoroti langkah impor dan operasi pasar yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Khusus untuk beras, Syaiful menilai tidak ada efek terhadap penurunan harga.
Syaiful menegaskan alasannya karena beras impor yang masuk ke dalam negeri lebih banyak digunakan untuk bantuan sosial ketimbang operasi pasar.
"Akibatnya, harga beras di pasar tetap tinggi karena memang jumlah beras yang beredar lebih kecil dari kebutuhan konsumen. Seharusnya pemerintah juga memprioritaskan bagaimana membanjiri beras di pasar agar harga beras kembali turun," tegas Syaiful.
"Sementara itu, tata kelola impor pangan juga masih dipenuhi dengan permainan rente ekonomi sehingga membuat harga pangan impor, seperti bawang putih dan gula rafinasi di konsumen menjadi mahal," imbuhnya.
Belum lagi permainan pengaturan kuota impor yang membentuk kartel tersendiri dengan bersekongkol menetapkan harga di distributor dan konsumen. Pada akhirnya, Syaiful melihat konsumen menjadi korban dan dirugikan karena harus membeli pangan dengan harga yang seharusnya bisa lebih murah.