Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto mengamini kenaikan tarif cukai yang berbuntut pada peningkatan harga bisa mengurangi konsumsi rokok.
Namun demikian, kata dia, perlu diingat bahwa dampak kenaikan cukai rokok terhadap konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan harga rokok itu sendiri, tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Misalnya, perilaku perokok.
Menurut Akhmad, perokok yang memiliki kecanduan tinggi akan lebih sulit untuk berhenti merokok meskipun harga naik. Perokok jenis ini lebih memilih mengganti produk rokok mereka, dari yang lebih mahal ke yang lebih murah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagian mungkin akan memilih untuk mengurangi belanja lain-lain demi mempertahankan konsumsi rokok mereka seperti sebelumnya," kata Akhmad.
Ia lantas mengingatkan bahwa kebijakan menaikkan cukai rokok sebenarnya bukan semata-mata karena alasan mengurangi konsumsi rokok. Akhmad menilai yang lebih sering terjadi adalah alasan lain, khususnya menaikkan pendapatan negara.
Dugaan Akhmad ini masuk akal. Seperti disinggung sebelumnya, Sri Mulyani menargetkan penerimaan cukai rokok tahun ini hingga Rp230,4 triliun.
Angka ini lebih tinggi dibanding target penerimaan cukai rokok 2023 seperti tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023, yakni Rp218,7 triliun.
"Jika memang pemerintah sungguh-sungguh ingin mengurangi konsumsi rokok, ada banyak instrumen lain yang sebenarnya lebih efektif," ucap Akhmad.
Ia pun merinci ada tiga instrumen yang dapat dipakai pemerintah. Pertama, melarang iklan dan promosi rokok. Pembatasan ini bertujuan untuk mengurangi daya tarik rokok terhadap masyarakat.
Kedua, menaikkan usia minimum pembelian rokok. Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah anak-anak dan remaja untuk memulai merokok.
Ketiga, program iklan anti rokok. Akhmad berpendapat program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok.
"Program ini dapat dilakukan dengan menayangkan iklan anti rokok di media massa, seperti televisi, radio, dan media sosial," pungkasnya.