Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI rate bertengger di 6 persen di akhir 2023. Bank sentral hanya dua kali menaikkan suku bunga pada tahun lalu.
Pertama pada Januari 2023 ke level 5,75 persen. Kemudian pada Oktober 2023 ke level 6 persen.
Lantas bagaimana sebaiknya kebijakan suku bunga ke depan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan suku bunga sebaiknya menurun bertahap hingga ke level 5 persen hingga 5,5 persen mulai Februari mendatang.
Bhima menilai suku bunga bisa turun karena inflasi juga mulai menurun. Selain itu, Bank Sentral AS The Fed juga mulai memberikan sinyal penurunan suku bunga.
"Namun penurunan bunga acuan juga perlu mempertimbangkan tekanan pada sisi ekspor sejak booming harga komoditas selesai, dan pelemahan ekonomi domestik China," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/1).
Selain itu, sambung Bhima, BI juga harus memperhatikan investasi langsung yang mungkin terpengaruh oleh Pemilu. Karenanya, BI perlu mewaspadai stabilitas kurs rupiah.
"Siklus Pemilu biasanya investasi langsung tumbuh melambat dan baru akan naik satu tahun berikutnya," katanya.
Senada, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita melihat suku bunga BI bisa turun di tahun ini karena The Fed juga juga sedang mencari peluang untuk menurunkan suku bunga.
Lihat Juga : |
Ia menjelaskan suku bunga BI ditentukan oleh beberapa faktor. Biasanya dalam keadaan normal tanpa tekanan dari eksternal, suku bunga mengikuti pergerakan inflasi, tingkat pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi.
"Jika inflasi terlalu tinggi atau diproyeksikan akan tinggi, biasanya BI akan mulai menaikkan suku bunga untuk memperlambat peredaran uang atau money base. Namun jika kenaikan suku bunga justru mengganggu penyerapan tenaga kerja karena investasi melambat akibat suku bunga tinggi, maka BI bisa menahan suku bunga agar pertumbuhan tak terganggu," katanya.
Selain faktor internal tersebut, sambung Ronny, faktor eksternal yang juga sering dipertimbangkan oleh BI.
Pertama, suku bunga The Fed, yang berpengaruh terhadap arus modal keluar (capital outflow). Kedua, kurs mata uang, karena capital outflow cenderung membuat kurs mata uang rupiah melemah.
"Di tahun ini, faktor internal dari sisi inflasi nampaknya masih bisa dikendalikan. Namun ancaman pelemahan pertumbuhan bisa menjadi acuan BI dalam menurunkan pelan-pelan suku bunga, agar likuiditas tidak terlalu ketat dan investasi bisa lebih ekspansif. Jadi dari sisi domestik BI punya alasan untuk menurunkan suku bunga," katanya.
Namun situasi global, kata Ronny, tampaknya belum memberikan sinyal yang jelas. Jika suku bunga BI turun, tetapi The Fed belum menurunkan suku bunga, maka capital outflow bisa terjadi lagi.
Pasalnya jarak BI rate dan The Fed rate terlalu dekat akan membuat insentif investor asing kabur ke Paman Sam. Jika itu terjadi, maka rupiah akan terkapar lagi dan akan sangat berpengaruh negatif kepada perekonomian nasional.
"Artinya, BI akan menjadikan kebijakan The Fed sebagai patokan utama dalam menurunkan suku bunga," katanya.
The Fed sendiri, katanya, sedang mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga lantaran inflasi AS mulai berada di bawah 5 persen.
"Jika dalam tiga bulan ke depan angka tersebut stabil, maka The Fed akan berpeluang menurunkan suku bunga sekitar 1 persen. Jika itu terjadi, maka tahun ini BI juga akan memangkas suku bunga sebesar 1 persen-1,5 persen," katanya.
Namun di sisi lain, tren inflasi AS juga sedang terancam oleh serangan AS dan Inggris ke Yaman. Serangan itu berpotensi mengangkat harga minyak dunia kembali ke level tinggi, yakni US$90 hingga US$100 per barel.
"Jika itu terjadi, inflasi di Amerika akan kembali tinggi dan The Fed berpeluang menunda penurunan suku bunga lebih lama. Nah jika itu terjadi, maka BI pun berpeluang menunda penurunan suku bunga lebih lama," katanya.
(fby/pta)