Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan salah satu faktor penyebab meningkatnya permintaan beras adalah hajatan pemilu.
Pesta demokrasi yang terdiri atas pilpres, pileg, dan pilkada di 37 provinsi tentu mengerek permintaan beras mengingat seringkali silaturahmi maupun kampanye disertai pembagian sembako.
Namun, ia mengatakan jika memang ada pihak yang diduga menyimpan beras maka perlu ditindak tegas. Sebab jika dihitung stok semestinya tidak membuat kelangkaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eliza mengatakan kelangkaan juga bisa terjadi karena masyarakat panik dengan dengan narasi yang berkembang di publik bahwa Indonesia defisit beras. Dalam hal ini pemerintah, katanya, salah mengkomunikasikan istilah defisit.
"Pemerintah selama ini keliru mengkomunikasikan bahwa kita terjadi defisit beras 2,8 juta ton. Defisit dalam artian ini ya jika hitung-hitungan mengurangi jumlah produksi dengan konsumsinya. Beras ini kan di panennya enggak setiap bulan, puncak panen hanya di bulan tertentu saja,, sementara konsumsi setiap bulan. Narasi defisit ini tentu memicu kepanikan di masyarakat sehingga seolah langka," katanya.
Mengatasi kondisi tersebut, Eliza mengatakan dalam jangka pendek harusnya dibentuk tim khusus untuk menginvestigasi pangan. Jika ada skekulan maka harus ditindak tegas.
Sementara untuk jangka panjang, maka perlu dibuat basis satu data terintegrasi yang akurat. Pasalnya carut marutnya tata niaga perberasan nasional, katanya, terjadi karena ketiadaan data.
Ia mengatakan Badan Pusat Statistik (BPS) memang memiliki data produksi tingkat petani, tetapi data beras di tingkat penggilingan dan gudang belum sepenuhnya dapat ditelusuri. Data, katanya, juga harus mencakup sepanjang rantai pasok komoditas pangan.
"Ketiadaan data di sepanjang rantai nilai pada komoditas pertanian berpotensi mengundang para rent seeker untuk mengambil keuntungan, memicu upaya spekulasi sehingga harga naik secara artifisial dan mengerek inflasi," katanya.