Senada, Researcher Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan mempertanyakan urgensi pemerintah menggenjot impor beras mendekati panen raya. Menurutnya, impor beras yang sangat banyak tersebut malah berpotensi membuat harga gabah anjlok dan merugikan petani.
Jaya menyarankan negara seharusnya benar-benar hadir di tengah para petani Indonesia. Ia tak ingin impor beras itu tidak dilandasi dialog dengan petani dan kondisi nyata stok beras nasional.
"Melihat situasi mendekati panen raya, saya kira kebijakan ini (impor beras) tidak hanya jalan pintas, tapi malah bisa berpotensi salah kalkulasi," wanti-wanti Jaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah tidak perlu tergesa-gesa memutuskan kebijakan tambahan impor beras mendekati panen raya, yang jatuhnya nanti malah merugikan petani. Kebijakan pemerintah terkait manajemen stok beras kali ini perlu dipertanyakan, apakah selama ini berbasis data atau hanya asumsi semata?" imbuhnya tak habis pikir.
Ia lantas menyindir salah kalkulasi pemerintah soal perberasan pada 2023 lalu. Menurutnya, perhitungan BPS soal dampak El Nino hanya menurunkan 650 ribu ton produksi beras Indonesia, sementara pemerintah menambal 'terlalu tebal' dengan impor jumbo sebanyak 3 juta ton beras.
Jika negara khawatir dengan dampak perubahan iklim yang mengerek harga beras, Jaya berharap cara yang ditempuh lebih 'elegan' dan win win solution.
Ia menyarankan negara hadir dengan membantu petani menurunkan ongkos produksi, misalnya dengan membenahi program subsidi pupuk, meningkatkan permodalan untuk petani, atau pemberian insentif produksi.
Di lain sisi, Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari menegaskan bahwa defisit beras di tahun ini tak bisa terhindarkan. Impor beras menjadi 'jalan pintas' yang mau tak mau harus ditempuh, paling tidak hingga 2024. Sebab, sampai saat ini tidak ada keseriusan pemerintah membenahi produksi padi nasional
Ia pun menduga pemerintah sendiri ragu dengan data perberasan yang dimiliki.
"Kalau pemerintah berencana menambah impor beras lagi 1,6 juta ton, berarti kepastian produksi beras dalam negeri masih diragukan kepastiannya. Hal ini terbukti sampai menjelang akhir Februari (2024) ini harga beras belum turun," tuturnya.
Syaiful menyoroti selisih harga beras di Tanah Air dengan negara-negara tetangga, yang merupakan pengekspor beras. Ia mencontohkan harga beras di Vietnam saat ini sedang berada di level yang rendah, yakni sekitar US$610 atau Rp9,53 juta per ton (asumsi kurs Rp15.628 per dolar AS).
Sementara, imbuhnya, harga eceran tertinggi (HET) beras lokal yang premium Rp13.900 (per kg).
"Jadi, selisih harga sudah pasti menggiurkan bagi importir. Dengan kata lain, harga 1 ton alias 1.000 kg beras premium lokal bisa menembus Rp13,9 juta. Ada selisih Rp4,37 juta yang bisa dihemat importir jika memilih mendatangkan beras dari Vietnam.
Soal makan siang gratis Prabowo-Gibran, Syaiful memandang rencana program tersebut hanya ilusi semata. Menurutnya, 6,7 juta ton beras yang dibutuhkan untuk program ini sama dengan separuh hasil panen padi di Jawa.
Jika separuh hasil panen tersebut diambil untuk makan siang gratis, ia mempertanyakan nasib masyarakat Indonesia lain. Pada akhirnya, kelangkaan beras seperti sekarang tak terhindarkan dan konsumen bakal dibebankan dengan harga beras yang mahal.
"Dapat disimpulkan program makan gratis yang kelak akan dijalankan sudah pasti akan mengganggu tata niaga harga dan pasar. Yang akan menjadi korban adalah konsumen yang jumlahnya 270 juta warga Indonesia. Sama halnya seperti kebijakan sekarang ini, bantuan sosial (bansos) digelontorkan untuk rumah tangga tidak mampu, tetapi seluruh konsumen se-Indonesia menanggung beban harga tinggi," kritik Syaiful.
"Belum lagi, jika program ini tidak berhasil memperoleh beras, daging ayam, daging sapi, dan susu dari dalam negeri, sudah pasti jalannya impor. Dan yang diuntungkan dari semua kebijakan ini adalah kartel impor," tandasnya.
Saat ini, program makan siang dan susu gratis akan dimasukkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2025). Bahkan, defisit APBN 2025 sampai harus diperlebar dari 2,29 persen di tahun ini menjadi 2,45 persen-2,8 persen untuk mengongkosi program andalan Prabowo-Gibran itu.
(pta)