Ariston mengatakan beban pembayaran utang luar negeri Indonesia juga akan meningkat. Jika dibiarkan, ini bakal mengganggu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Josua Pardede juga mewanti-wanti hal tersebut. Menurutnya, pembayaran pokok utang luar negeri akan meningkat dan memuncak setiap kuartal kedua setiap tahunnya.
Ia mengatakan faktor musiman tersebut yang juga ikut menekan rupiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Josua mengatakan para pelaku usaha di sektor ekonomi yang rajin mengimpor tentu akan terdampak anjloknya rupiah. Pengusaha harus putar otak untuk memitigasi ancaman merugi.
"Para pelaku usaha dapat mengoptimalkan transaksi lindung nilai sehingga dapat membatasi risiko peningkatan biaya produksi yang ditimbulkan oleh pelemahan nilai tukar," saran Josua.
Sutopo Widodo juga berpesan terhadap perusahaan yang memenuhi kebutuhannya selama ini dengan barang dari luar negeri. Menguatnya dolar AS membuat harga-harga barang impor semakin mahal.
Apalagi, pabrik yang mengimpor barang atau bahan produksi juga berutang dalam mata uang dolar AS. Sutopo mengatakan beban pengusaha akan semakin berat karena utang bertambah sehingga membahayakan cash flow perusahaan.
Terakhir, Ariston Tjendra mewanti-wanti kaburnya para investor dari Indonesia. Ini bisa saja terjadi jika pelemahan tak kunjung reda.
"Ancaman untuk Indonesia kalau rupiah terus melemah, antara lain kepercayaan investor atau pasar menurun," wanti-wanti Ariston.
"Dana bisa keluar dari Indonesia yang menambah pelemahan rupiah," imbuhnya.
Di lain sisi, Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan pelemahan rupiah bisa menurunkan valuasi nilai aset investasi.
Meski ada beberapa ancaman nyata, Josua Pardede menilai dampak pelemahan nilai tukar rupiah kepada masyarakat luas cenderung kecil. Menurutnya, efeknya tak banyak karena pendapatan dan pengeluaran masyarakat umumnya dalam bentuk rupiah.
"Oleh sebab itu, masyarakat tidak perlu khawatir dengan dampak dari pelemahan rupiah terhadap daya beli masyarakat dan perekonomian domestik," ucap Josua.
Josua menjelaskan apa yang terjadi di 2024 ini juga berbeda dengan kondisi 1998 lalu. Pasalnya, pada saat itu rupiah melemah dari level Rp4.000 ke Rp16 ribu karena krisis mata uang yang menyebar dari pelemahan bath Thailand.
Pada pandemi covid-19 2020 lalu, rupiah juga sempat melemah hingga menembus level Rp16 ribu, tetapi itu bukan pelemahan permanen.
Josua menegaskan faktor fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih solid dan kuat, meski rupiah anjlok.
"Kami melihat bahwa BI masih dapat mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada level 6 persen (di April 2024). Untuk menahan pelemahan rupiah lebih lanjut, sebenarnya BI masih punya amunisi yang cukup banyak atau kuat, ditopang oleh cadangan devisa yang masih terbilang relatif tinggi, sehingga BI masih bisa masuk dan melakukan intervensi ke pasar valuta asing," tuturnya.
"Jika kondisi global tidak mendukung dan permintaan safe haven terus meningkat sehingga terjadi risk off yang berujung pada pelemahan rupiah terus menerus meski BI sudah melakukan intervensi, memang ada ruang BI melakukan kenaikan BI rate. Kami melihat menaikkan BI rate merupakan opsi terakhir untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," sambung Josua.
Myrdal Gunarto juga berpendapat mempertahankan suku bunga acuan menjadi opsi yang tepat untuk memulihkan nilai tukar rupiah. Ia menilai stabilisasi suku bunga bisa menjaga daya tarik aset investasi domestik di mata investor global.
Di lain sisi, ia meminta BI berkomunikasi lebih intensif dengan eksportir.
"Ini terkait langkah gerak cepat untuk memasukkan devisa hasil ekspor (DHE) ke sistem moneter nasional untuk menambah suplai dolar AS di dalam negeri," saran Myrdal.