Menurutnya, hal itu bisa terwujud asalkan konsep Tapera pemerintah sudah benar-benar jelas dan pengelolaannya transparan.
"Konsepnya harusnya bagus, tapi transparansi penggunaan dananya yang berisiko," kata Ali kepada CNNIndonesia.com, Kamis (30/5).
Ia berpendapat Tapera saat ini banyak mendapat penolakan karena besaran iuran belum tersosialisasikan dengan baik. Ali mengingatkan, ada bahaya yang lebih besar, yakni transparansi pengelolaan iuran peserta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengolahan data itu sangat besar dan berpotensi korupsi. Berdasarwkan hitungan IPW, data Tapera yang bisa terkumpul mencapai Rp80 triliun per tahun.
"Dana ini akan wajib dikelola oleh Manajer Investasi (MI) yang pastinya ada fee konsultasi di sana yang berpotensi penyelewengan korupsi. Belum lagi penggunaan dana utk membiayai yang tidak tepat sasaran," tutur Ali.
Berdasarkan pertimbangan itu, Ali pun mengingatkan agar pemerintah menunda dulu program Taper. Terlebih, masalah pengawasan harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah.
Di satu sisi, sosialisasi dari pemerintah pun tidak optimal. Karenanya, Tapera seperti program yang dipaksakan.
Ali mengatakan agar pekerja MBR bisa terbantu untuk memiliki rumah, pemerintah saat ini bisa mengoptimalkan program FLPP.
Lihat Juga : |
Caranya, kata dia, dengan menambah anggaran program tersebut.
"Tahun ini anggaran FLPP untuk 160 ribu unit Rp13,7 triliun, harusnya bisa Rp500 ribu unit per tahun," ucap Ali.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai pekerja MBR bakal tetap kesulitan mendapat rumah meski ikut Tapera selama 20 tahun. Ia menyebut meski dana peserta sudah berlipat ganda karena dikelola dan diinvestasikan oleh pemerintah, untuk mendapat hunian tetap sulit.
Apalagi, harga rumah selalu naik tiap tahunnya.
Lihat Juga : |
"Jika ditarik dari gaji Rp8 juta, misalnya, setelah 20 tahun diperkirakan hanya akan tumbuh menjadi maksimum tiga kali lipat dari modal dasar. Sehingga sangat wajar jika targetnya hanya rumah tipe sangat sederhana, setelah dikurangi inflasi normal tentunya," kata Ronny.
Di sisi lain, Ronny juga menyebut tak menutup kemungkinan data para peserta itu malah lenyap karena ada krisis keuangan, misalnya. Selain itu, dana itu juga bisa saja menyusut lantaran ada fraud di Tapera.
Dalam keadaan seperti itu, mau tak mau negara harus menjadi penyelamat. Dengan kata lain, negara bakal menggelontorkan uang cukup besar.
Oleh karena itu, alih-alih bisa membantu pekerja dapat rumah. Negara malah makin tekor juga.
Ronny pun menuturkan keberhasilan pekerja terbantu mendapat rumah oleh Tapera, bakal tergantung pada skema yang ditawarkan. Ia menilai skema untuk MBR harus dibuat secara khusus.
"MBR tentu tak berpenghasilan tetap dan jumlahnya hampir pasti tak Rp8 juta. Jadi saya tak yakin MBR bisa mengaksesnya jika tak dibarengi dengan subsidi," kata Ronny.
Ia pun meminta pemerintah sebaiknya menunda dulu program Tapera. Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang secara lebih jelas program tersebut.
Pemerintah juga bisa berembuk lagi bersama DPR terkait Tapera agar tak membebankan rakyat.
"Gunakanlah waktu sampai 2027 itu untuk mendalami dan me-redesain Tapera agar lebih bisa diterima publik dan lebih menjangkau semua kalangan, terutama MBR," kata Ronny.