ANALISIS

Masih Adakah Masa Depan Industri Tekstil RI?

Mochammad Ryan Hidayatullah | CNN Indonesia
Rabu, 12 Jun 2024 07:03 WIB
Industri tekstil Indonesia babak belur dihantam tingginya biaya produk, banjir barang impor, dan penurunan permintaan.
Pengamat menilai pemerintah perlu turun tangan untuk melindungi keberlangsungan industri tekstil di dalam negeri. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman).

Maraknya PHK imbas lesunya industri tekstil bakal berdampak pada ekonomi dalam negeri. Rendy menjelaskan tekstil merupakan salah satu industri strategis. Industri tersebut selama ini mampu berkontribusi terhadap perekonomian melalui sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan juga ekspor.

Sehingga, ketika kinerja industri ini menurun, harapan untuk mendorong pertumbuhan industri TPT itu relatif akan berkurang.

Sementara untuk pengangguran, hal ini tidak boleh disepelekan. Maklum, industri tekstil sifatnya padat karya. Karenanya, jika industri itu terganggu, potensi angka pengguran bakal terus meningkat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami belum melakukan simulasi penghitungan bagaimana dampak PHK ini akan memberikan peningkatan terhadap pengangguran," kata Rendy.

"Namun yang perlu diantisipasi adalah ketika dampak PHK ini terjadi di tengah potensi kenaikan atau masih relatif tingginya harga untuk beberapa kebutuhan pangan," imbuhnya.

Menurutnya, kombinasi kondisi tersebut tentu tidak akan terlalu baik. Terutama bagi para pekerja yang terkena PHK.

"Mereka sudah pasti akan tergerus daya belinya atau bahkan hilang dari belinya ketika kondisi itu terjadi," ucap Rendy.

Jurus Melawan Badai di Industri Tekstil

Agar badai yang menerpa industri tekstil itu tak berlanjut dan kemudian reda, Rendy menyebut beberapa hal yang perlu dilakukan.

Salah satunya, pemerintah perlu memperkuat ekosistem industri manufaktur baik dari aspek modal, energi, logistik, dan riset juga pengembangan.

Ia mencontohnya biaya energi di dalam negeri itu relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara kompetitor industri. Tentu ini akan ikut berdampak terhadap tingginya biaya produksi untuk beberapa produk manufaktur termasuk di dalamnya industri tekstil.

Selain itu, pemerintah juga perlu melihat kembali aturan perdagangan yang sudah berlaku.

"Melihat perizinan impor bagi importir melalui pusat logistik berikut kemudian Free Trade Zone merupakan hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam konteks evaluasi tersebut," tutur Rendy.

Tak hanya itu, opsi untuk memperluas pasar untuk industri tekstil dan pakaian jadi ke negara-negara yang memiliki potensi pasar yang cukup baik perlu didorong secara bertahap.

"Saya kira beberapa negara di kawasan Afrika terutama Afrika Utara kemudian Eropa itu masih memungkinkan untuk dibuka diskusi terkait pelebaran pasar tersebut," ujarnya.

Setali tiga uang, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan jejatuhan pabrik-pabrik tekstil yang masif merupakan puncak dari permasalahan industri manufaktur dalam satu dekade terakhir, yaitu daya saing yang semakin melemah.

"Faktor utama kejatuhan industri tekstil memang adalah permintaan yang semakin melemah, tidak hanya dari pasar ekspor namun juga dari pasar domestik," katanya.

Yusuf berpendapat lemahnya permintaan pasar membuat banyak pabrik beroperasi jauh dibawah kapasitasnya, sehingga biaya produksi menjadi sangat tidak efisien.

Di saat yang sama, industri tekstil di pasar ekspor harus menghadapi kerasnya persaingan dari produsen tekstil asing, terutama dari China, Vietnam, dan Bangladesh. Harga produk dari negara-negara juga sangat kompetitif.

Hal ini diperburuk oleh lemahnya pengawasan impor sehingga penyelundupan barang termasuk tekstil menjadi marak. Oleh sebab itu, proteksi terhadap industri domestik melalui hambatan tarif dan non tarif tidak efektif.

Akibatnya, kata Yusuf, pasar domestik industri tekstil tergerus signifikan. "Daya saing industri tekstil kita menurun drastis baik di pasar ekspor maupun domestik," ujarnya.

Ia menjelaskan kondisi industri tekstil ini sebenarnya menggambarkan kondisi sektor industri manufaktur RI secara keseluruhan. Padahal, untuk melipatgandakan pendapatan masyarakat menuju status negara maju pada 2045, Indonesia membutuhkan transformasi ekonomi ke sektor bernilai tambah tinggi, terutama industri manufaktur.

Sayangnya, hingga kini belum ada langkah yang cukup meyakinkan ke arah perubahan struktur perekonomian.

"Untuk mencapai Indonesia emas pada 2045 kita membutuhkan industrialisasi yang masif, dengan kontribusi industri manufaktur pada PDB setidaknya di kisaran 30 persen," tutur Yusuf.

Harapan itu nyatanya masih jauh. Sebab, kondisi saat ini justru sebaliknya, yaitu mengalami deindustrialisasi.

Yusuf mengatakan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB justru terus menurun dari kisaran 27 persen pada 2005 menjadi hanya di kisaran 18 persen pada 2022.

Menurutnya, deindustrialisasi dini ini ditandai melemahnya daya saing industri manufaktur khususnya industri padat karya. Sehingga, pasca era 2000-an investasi perlahan mulai meninggalkan industri padat karya, kecenderungan ini menguat dalam 10 tahun terakhir.

Hal ini yang menjelaskan mengapa investasi kini semakin lemah menyerap tenaga kerja.

Yusuf berpendapat cara sederhana agar industri tekstil RI bisa bertahan adalah seperti yang dilakukan UU Cipta Kerja. Yaitu, menciptakan rezim upah buruh murah dan menekan kenaikan UMP agar biaya produksi pabrik lebih kompetitif.

Namun, cara ini tentu sangat tidak manusiawi karena mengorbankan buruh yang justru sangat membutuhkan kenaikan upah untuk meningkatkan kesejahteraannya yang rendah.

Oleh karena itu, cara yang tersisa adalah melindungi pasar domestik dari penyelundupan dan serbuan produk impor yang harganya sangat murah.

"Dengan menghapus penyelundupan dan menerapkan hambatan tarif akan menjaga pasar domestik yang besar sehingga permintaan untuk industri tekstil tetap terjaga," kata Yusuf.



(sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER