Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita berpendapat sebenarnya akar masalah impor ilegal adalah kebijakan tarif yang terus menerus naik.
Hal itu pun akhirnya menciptakan disparitas harga yang cukup tinggi atas harga barang impor di dalam negeri. Walhasil, dengan menerobos aturan yang ada, barang ilegal bisa dijual murah di dalam negeri karena tidak harus membayar bea masuk dan segala macam pajak barang impor.
"Jadi akar masalahnya di sana. Coba bayangkan jika tarif bea masuk tidak tinggi, maka pelaku impor ilegal akan memilih untuk melakukan impor melalui mekanisme formal yang ada, karena tidak berisiko ditangkap dan lain-lain di satu sisi dan perbedaan harganya tidak terlalu besar di sisi lain," jelas Ronny.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain, maraknya impor ilegal adalah imbas dari kebijakan tarif dan spirit proteksionisme yang berlebihan. Oleh karena itu, jika pemerintah memilih melawan impor ilegal ketimbang mengintrospeksi diri soal kebijakan impor, maka upaya untuk itu harus sangat-sangat ekstra.
Upaya pertama, dibutuhkan sistem pengawasan lintas batas atau cross border yang canggih dan dukungan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Sebab, Indonesia sangat luas.
Banyak sekali pelabuhan tikus yang berada jauh di luar jangkauan otoritas. Sehingga, biaya untuk memerangi impor ilegal akan sangat besar.
Kedua, dibutuhkan integritas yang sangat tinggi dari semua aparat. Ini perlu agar importir ilegal tidak mudah melakukan negosiasi di bawah meja dengan aparat.
Sayangnya, kata Ronny, track record pejabat kita sangat buruk soal ini. Bahkan indeks persepsi korupsi kita hari ini justru makin memburuk.
"Jadi apakah aparat seperti kepolisian, kejaksaan, bea cukai, bisa melawan impor ilegal, saya sangat tidak yakin. La wong melawan judi online saja mereka tak berdaya, ya toh?" kata dia.
Ronny pun menilai motif pemerintah untuk melindungi produsen lokal dari barang impor dengan kebijakan melawan impor ilegal adalah kurang tepat. Sebab, di era keterbukaan global seperti hari ini, memberlakukan kebijakan tarif tinggi dan berorientasi proteksionis akan membuat industri dalam negeri justru semakin tertinggal.
Upaya melawan impor ilegal ini, menurut Ronny, justru kebijakan yang diambil pemerintah karena tak mau keluar uang banyak untuk membangun dan mengupgrade sektor industri dan manufaktur. Padahal, langkah yang paling produktif dan sustainable agar industri tidak kalah bersaing adalah membangun daya saing.
"Langkah proteksionis seharusnya secukupnya saja. Langkah utama seharusnya dalam rangka menguatkan industri dalam negeri dengan segala instrumen fiskal dan moneter yang ada, baru setelah itu bicara melawan impor ilegal," ucap Ronny.