ANALISIS

Bahaya Mengintai Ekonomi RI di Balik 'Gemuk' Pekerja Informal

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Jumat, 02 Agu 2024 07:35 WIB
Angkatan kerja yang didominasi pekerja informal berdampak buruk pada penerimaan negara. Mereka juga rentan jatuh miskin sehingga beban subsidi bisa naik.
Angkatan kerja ang didominasi pekerja informal berdampak buruk pada penerimaan negara. Mereka juga rentan jatuh miskin sehingga beban subsidi bisa naik. (Foto: Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan banyak kelas menengah yang bekerja di sektor formal beralih profesi menjadi pekerja mandiri (self employed) alias pekerja informal.

Menurutnya, hal itu tak terlepas dari pola kerja work from home (WFH) saat pandemi covid-19. Ia mencontohkan ada anak muda yang memilih jadi freelancer di perusahaan asing karena pekerjaannya bisa dijalankan jarak jauh.

"Nah, mereka (kelas menengah) ini kemudian keluar dari perusahaan-perusahaan konstruksi kita dan sebagainya. Nah, ini kita belum punya data ini," ucap Suharso.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia pun mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut jumlah kelas menengah menyusut menjadi di bawah 20 persen. Oleh karena itu, pemerintah pun akan meneliti lebih lanjut terkait ke mana larinya kelas menengah tersebut.

Sementara itu, ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014, Chatib Basri, mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019.

Menurutnya, data Bank Dunia mengungkapkan kelas menengah sebesar 23 persen dari jumlah penduduk pada 2018. Angka itu kemudian turun menjadi 21 persen pada 2019.

Di sisi lain, kelompok kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) membengkak dari 47 persen menjadi 48 persen.

"Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17 persen, AMC naik menjadi 49 persen, kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen," kata Chatib seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

BPS mencatat jumlah pekerja sektor informal cukup tinggi. Per Februari 2024, 59,17 persen pekerja bekerja di sektor informal, sedangkan 40,83 persen bekerja di sektor formal. Jumlah ini turun tipis dari 2023 yakni 60,12 persen pekerja informal dan 39,88 persen pekerja formal.

Sementara pada 2022, pekerja informal tercatat 59,97 persen dan pekerja formal 40,03 persen. Pada 2021, pekerja informal 59,62 persen dan pekerja formal 40,38 persen.

Lantas apa dampaknya jika pekerja Indonesia didominasi di sektor informal?

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai banyaknya pekerja informal bisa berdampak buruk ke ekonomi. Pasalnya, pekerja di sektor informal biasanya tidak memiliki kepastian jumlah pendapatan dan kepastian apakah terus berpendapatan.

Hal itu terjadi karena pekerja informal biasanya tak memiliki kontrak kerja yang jelas.

Absennya kepastian pendapatan akan melahirkan ketidakpastian pengeluaran pekerja informal yang berujung pada potensi pelemahan permintaan dan penurunan konsumsi rumah tangga. Penurunan konsumsi rumah tangga kemudian akan turut menurunkan prospek investasi.

"Karena tidak ada kepastian permintaan atau daya beli melemah, maka investor akan berpikir panjang untuk membuka usaha baru karena khawatir tidak akan laku. Penurunan prospek investasi juga akan menekan pertumbuhan karena kontribusi investasi cukup tinggi terhadap pertumbuhan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (1/8).

Baik penurunan daya beli maupun penurunan prospek investasi, sambungnya, sama-sama akan menekan potensi penerimaan negara. Jika penerimaan menurun, maka kemampuan pemerintah untuk berbelanja akan berkurang.

Akibatnya, kontribusi belanja pemerintah kepada pertumbuhan ekonomi juga akan tertekan. Sebagai risikonya, utang akan menjadi solusi penerimaan tambahan untuk negara.

Ekonomi Mandek, Pajak Seret

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER