ANALISIS

Semu di Balik Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen yang Disyukuri Jokowi

Feby Febrina Nadeak | CNN Indonesia
Jumat, 09 Agu 2024 07:20 WIB
Pertumbuhan ekonomi 5 persen dinilai tak berkualitas karena tidak lagi ditopang sektor padat karya. Justru badai PHK menimpa sektor manufaktur.
Babak Belur Sektor Manufaktur. (Foto: ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Menurutnya, babak belurnya sektor manufaktur utamanya karena kalah saing dengan barang impor. Akibatnya, banyak PHK terjadi di sektor TPT (tekstil) dan alas kaki.

Hal serupa juga yang menimpa industri rokok yang kian hari kian mahal, baik karena pajak maupun karena kampanye antirokok, dan lainnya.

Pada intinya, Ronny mengatakan 5 persen bukanlah angka pertumbuhan yang tinggi dan kualitasnya pun terbilang kurang bagus karena tidak ditopang oleh sektor-sektor padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi bisa jadi bersifat semu karena hanya dinikmati segelintir orang. Alhasil, serapan tenaga kerja rendah dan ketimpangan makin tinggi.

"Boleh jadi memang ada benarnya istilah semu tersebut untuk menggambarkan pertumbuhan kita, karena sektor padat modal yang menopangnya hanya akan memperkaya para pemilik modal. Para bankir yang membeli surat utang negara, para industrialis tambang SDA, para Tycoon, mogul ekonomi digital, dan para oligar yang hidup dari proyek-proyek negara, dan seterusnya, adalah para pihak yang menikmati pertumbuhan ekonomi lima persen kita," katanya.

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai terjadinya PHK di beberapa industri saat pertumbuhan ekonomi 5 persen menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya dirasakan oleh semua sektor.

Ia menilai ada sektor yang sebenarnya cukup strategis tetapi kalah saing sehingga harus melakukan PHK, misalnya tekstil.

Tekstil, kata Yusuf, merupakan salah satu sektor strategis yang berkontribusi terhadap perekonomian secara keseluruhan dan juga berkontribusi terhadap industri manufaktur secara umum.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir sektor tekstil dihadapkan masalah ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk-produk impor yang masuk ke dalam negeri.

Meskipun ekonomi tumbuh 5 persen, Rendy menyebut terjadi perlambatan pertumbuhan pada beberapa komponen PDB dibandingkan dengan data pencapaian di periode yang sama tahun lalu.

Salah satunya, konsumsi rumah tangga yang melambat di kuartal kedua tahun ini jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Perlambatan konsumsi rumah tangga, katanya, menjadi lampu kuning karena setidaknya memberikan gambaran masyarakat menengah ke bawah mengalami tekanan daya beli.

"Ini terlihat dari misalnya pertumbuhan upah yang relatif marginal. Jadi sekali lagi bahwa betul pertumbuhan ekonomi terjadi secara agregat namun masih ada pekerjaan rumah, terutama kalau kita melihat dari sisi sektor lapangan usaha dan kalau kita melihat dari kelompok pendapatan masyarakat menengah ke bawah," katanya.

Ke depan, Yusuf mengatakan pemerintah perlu menjaga daya saing sektor-sektor yang saat ini masih tertatih-tatih baik karena kehilangan daya saing maupun masih merasakan efek dari efek covid 19 beberapa tahun yang lalu. Pemerintah katanya bisa memberikan insentif pajak bagi sektor yang membutuhkan.

Terkhusus untuk industri tekstil, perlu dilihat apakah kebijakan pemerintah untuk menekan impor sudah sesuai dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja industri tekstil itu sendiri.

"Di level individu, saya kira pemberian bantuan terutama di semester kedua nanti juga tidak kalah penting. Dan yang tidak kalah penting juga bagaimana pemerintah menjaga iklim ataupun indikator ekonomi seperti inflasi sehingga kenaikan harga barang terutama untuk komoditas pangan tidak terjadi dan menekan kembali daya beli masyarakat," imbuhnya.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER