Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian menegaskan bahwa fenomena deflasi harus dinilai secara jujur dan komprehensif. Ia menyebut apa yang terjadi sekarang ini imbas dari kenaikan luar biasa harga pangan pada akhir 2023 dan awal 2024.
Eliza menyebut lonjakan saat itu menjadi bukti pemerintah gagal mengendalikan harga pangan. Ujungnya, daya beli masyarakat terus melemah hingga sekarang, ditambah banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Sekarang harga beberapa komoditas sayuran itu anjlok parah, petani merugi. Kondisi over supply, sementara kita tidak memiliki infrastruktur cold storage memadai yang bisa memperpanjang usia komoditas pangan," jelas Eliza.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah ramadan (Maret 2024), demand melandai dan harga beranjak ke titik keseimbangan baru. Saat ini panen raya dan over supply. Tidak banyak peranan pemerintah untuk mengatasi over supply ini sehingga petani pada menjerit," sambungnya.
Ia menekankan daya beli masyarakat memang jatuh, salah satunya terlihat dari inflasi inti secara tahun berjalan alias year to date (ytd). Per September 2024 hanya 0,74 persen ytd, jauh lebih kecil dibandingkan September 2023 sebesar 1,63 persen ytd.
Eliza menyebut apa yang terjadi di Indonesia saat ini jelas tidak normal alias anomali. Pasalnya, deflasi beruntun muncul di negara yang punya pertumbuhan ekonomi di kisaran lima persen setiap tahunnya.
"Tandanya pertumbuhan ekonomi ini lebih banyak dirasakan golongan atas. (Kelompok) menengah dan bawah malah justru makin tertekan. Ada yang salah kaprah dalam bauran kebijakannya. Pemerintah telat mengantisipasi, sekarang sudah kadung melemah daya beli," kritiknya.
Lihat Juga : |
"Solusi agar daya beli tidak kian melemah adalah penciptaan lapangan kerja dengan cara mengoptimalkan APBN, mesti jadi captive market bagi masyarakat. Buat program yang multiplier effect-nya luas, jangan hanya dinikmati kalangan elite saja," saran Eliza.
Ia juga meminta pemerintah tak menerapkan kebijakan aneh. Mulai dari kenaikan PPN menjadi 12 persen di 2025, pemotongan upah untuk iuran Tapera, subsidi KRL yang diubah berbasis NIK, sampai pemangkasan subsidi BBM dan tarif dasar listrik.
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut apa yang diucapkan pemerintah harus dikritisi. Senada Huda dan Eliza, Yusuf menilai angka inflasi inti pada September 2024 menunjukkan potensi deflasi terjadi imbas permintaan berbagai produk barang dan jasa yang melambat.
Ini diperkuat dengan indikator lain, seperti purchasing managers index (PMI) manufaktur yang sempat kontraksi beberapa bulan. Begitu pula indeks kepercayaan konsumen, terutama kelas menengah yang pertumbuhannya kontraksi secara bulanan dibandingkan bulan sebelumnya.
"Langkah cepat sebenarnya memberikan bantuan sosial yang sifatnya tematik, seperti yang pernah diberikan pemerintah di awal tahun ini," saran Yusuf.
"Ketika itu pemerintah menyalurkan bansos karena terjadinya kenaikan harga imbas dari perubahan masa panen dan kenaikan harga pangan," imbuhnya.
Yusuf menyebut Indonesia tetap harus waspada, meski pemerintah ngotot deflasi timbul bukan karena penurunan daya beli. Persiapan juga diperlukan andai pemerintah tetap yakin deflasi murni karena penurunan harga pangan.
Ia menyarankan pemerintah mencermati betul perubahan iklim atau anomali ke depan. Terutama yang berdampak pada masa panen, seperti cabai selaku komoditas pangan strategis.