Ia menyebut jika kenaikannya terlalu besar, contohnya hingga Rp50 ribu, tentu hal itu akan mengurangi kuota beras pekerja sampai 4 liter. Artinya, kenaikan iuran hingga Rp50 ribu akan berkontribusi pada tekanan daya beli pekerja.
Ia berasumsi jika iuran hanya naik sekitar Rp10 ribu, imbasnya tidak akan terlalu besar pada pendapatan peserta BPJS Kesehatan.
Ronny pun tak menampik jika kenaikan iuran tak dilakukan BPJS Kesehatan memang bisa defisit seperti dahulu. Hal itu berkaca kepada jumlah tagihan yang cukup besar dari tahun ke tahun. Namun, menurut Ronny, BPJS Kesehatan perlu buka-bukaan soal balance sheet-nya kepada publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Solusi jangka pendeknya tentu bisa dengan menaikan iuran. Tapi solusi jangka panjangnya tentu dengan mengurangi tagihan. Artinya, menurunkan angka sakit peserta BPJS dan masyarakat secara umum," ucap Ronny.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan untuk mengatasi permasalahan finansialnya, BPJS Kesehatan harus mencari sumber lain yang bisa menambah pendapatannya, seperti memutar investasi dari corporate social responsibility (CSR) atau hal lain. Hal tersebut guna mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari iuran.
Faisal mengatakan sebetulnya jumlah tagihan yang ditutup oleh BPJS Kesehatan cukup besar dari peserta yang mampu dan yang tak mampu dengan jumlah penerima bantuan iuran (PBI) yang relatif meningkat.
"Jadi yang membayar iuran ini sebetulnya relatif lebih terbatas, apalagi kalau di tengah kondisi seperti sekarang pasca pandemi yang kelas menengahnya yaitu pembayar iuran," jelasnya.
"Kelas menengah ini yang justru mengalami penurunan dari sisi kemampuan income-nya. Ketika kemudian ditambah lagi bebannya dengan menambah iuran untuk BPJS Kesehatan, ini semakin memberikan discouragement bagi mereka yang selama ini membayar BPJS Kesehatan," imbuh Faisal.
Maka itu, Faisal mengatakan di situlah pemerintah semestinya berperan untuk mengatasi hal tersebut, terutama bagi yang kalangan bawah atau tidak mampu, dan bukan semakin membebankan kelas menengah.
"Jadi bukan makin dibebankan kepada yang kelas menengah yang sekarang ini justru malah tergerus daya belinya. Kalau bergantung pada iuran kelas menengah yang membayar premi untuk meng-cover besarnya beban dari kalangan bawah," kata dia.
Apalagi, katanya, ditambah dengan standar pelayanan kesehatan yang dinaikkan yang bisa berujung pada pengurangan pelayanan kesehatan secara kuantitas.
Memang beberapa bulan silam dikabarkan pemerintah memerintahkan seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memberlakukan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) paling lambat 30 Juni 2025.
Skema tersebut kala itu menimbulkan asumsi di kalangan masyarakat bahwa kelas 1, 2 ,3 akan dihapus dan diganti dengan penerapan KRIS di seluruh rumah sakit.
"Jadi itu juga di sisi yang lain jangan justru menetapkan standar dari kesehatan di pusat yang justru susah untuk diikuti di daerah," ujar Faisal.
(pta)