Sementara itu, analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P Sasmita menyebut kenaikan PPN tetap dilakukan pada 2025 karena pemerintah sudah merasa mengkompensasi daya beli masyarakat dengan beberapa kebijakan.
Kebijakan pertama, upah minimum provinsi (UMP) yang sudah diresmikan naik 6,5 persen pada 2025, dibandingkan tahun ini hanya 3 persenan.
Kedua, pemerintah sudah memberikan jaminan kenaikan gaji guru. Ketiga, pajak UMKM yang tidak naik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi dengan begitu, pemerintah merasa sudah memberikan pengaman sosial untuk kelompok masyarakat yang diperkirakan penghasilannya akan tertekan karena kenaikan PPN," tutur Ronny.
Faktor lainnya, Ronny menilai pemerintah memerlukan kenaikan PPN untuk dapat mewujudkan kebijakan-kebijakan di atas. Menurutnya, secara umum hal itu agar terkesan impas atau neutralized.
Lihat Juga : |
Ia memperkirakan kenaikan PPN bisa mendatangkan penerimaan negara sekitar Rp80 triliun.
"Sehingga bisa berlebih, meskipun dipakai untuk kenaikan pendapatan guru. Sementara kenaikan UMP ditanggung pengusaha, tanpa membebani APBN," ucap dia.
Jadi pada intinya, kata Ronny, meskipun sudah ada kebijakan 'kompensasi' daya beli, pemerintah tetap akan 'menang banyak' alias akan mendapatkan tambahan penerimaan negara.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat kengototan pemerintah menaikkan tarif PPN ke 12 persen tak hanya dipicu oleh undang-undang.
Menurutnya, kondisi APBN pada 2025 yang masih dihadapkan pada potensi kenaikan beban belanja menjadi alasannya.
Hal ini terjadi imbas ada beberapa pos belanja yang sifatnya masih bisa berubah, termasuk di dalamnya program prioritas pemerintah, seperti makan bergizi gratis, hingga utang jatuh tempo mulai 2025 hingga 2029 yang akan terjadi secara bertahap.
Dalam kondisi tersebut, Yusuf menilai pemerintah relatif sulit untuk tetap menjaga target defisit anggaran di angka 2,5 persen terhadap PDB jika tak ada langkah yang sifatnya bisa mendorong penerimaan secara lebih baik.
Namun, ia merasa bahwa alasan-alasan tersebut perlu dikritisi. Misalnya, terkait regulasi atau ketentuan undang-undang yang sudah ditetapkan sebelumnya.
"Menurut kami sebenarnya ketentuan dan regulasi tersebut sudah atau dapat ditunda sementara waktu, misalnya dalam bentuk peraturan pengganti undang-undang di mana nantinya pemerintah menetapkan penundaan tarif baru sampai dengan batas waktu yang akan disepakati nanti," ujar Yusuf.
Sementara untuk kepentingan belanja, menurutnya, sebenarnya pemerintah bisa melakukan beberapa cara. Pertama, melakukan realokasi anggaran pada pos-pos yang sebenarnya dapat dialokasikan atau ditunda sementara waktu untuk pos yang bersifat lebih urgent.
Kedua, upaya mendorong penerimaan juga dapat dilakukan melalui proses intensifikasi pemeriksaan.
"Di mana kita tahu pemerintah sebenarnya sudah punya administrasi perpajakan ini bangun dan kita juga paham di tahun depan ada sistem core tax administration yang saya kira bisa memberikan efek terhadap kemampuan peningkatan penerimaan pajak pada level tertentu," pungkasnya.