Kemitraan Jadi Fondasi Keberhasilan Hilirisasi Mineral di Indonesia
Tim dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB) Malang telah melakukan penelitian terbaru yang menyoroti pentingnya kemitraan strategis sebagai fondasi untuk memastikan manfaat hilirisasi mineral dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Peneliti utama, Hendi Subadi, menyoroti keberhasilan model kemitraan di beberapa wilayah sebagai contoh nyata dampak positif hilirisasi. Hal ini dituangkan dalam laporan berjudul "Laporan Akhir Membangun Kemitraan Antara Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan untuk Optimalisasi Manfaat Hilirisasi".
Salah satu contohnya di Gresik, PT Freeport Indonesia (PT FI) berhasil melibatkan masyarakat lokal melalui forum komunikasi "Rembuk Akur," yang memfasilitasi perekrutan tenaga kerja.
Forum ini menciptakan peluang kerja bagi masyarakat dari sembilan desa Ring 1, serta mendukung pemberdayaan UMKM lokal yang terlibat dalam penyediaan barang dan jasa pendukung industri.
Bahkan UMKM lokal juga diberdayakan untuk menyediakan kebutuhan logistik perusahaan. Kebutuhan itu seperti seragam batik khas Gresik untuk karyawan PT FI.
Kemudian di Mempawah, PT Borneo Alumina Indonesia (PT BAI) membuka peluang usaha baru bagi masyarakat lokal melalui kemitraan strategis.
Inisiatif ini melibatkan pengembangan UMKM di sektor pendukung seperti warung makan, penyewaan kos-kosan, dan toko kebutuhan sehari-hari, yang memberikan dampak ekonomi signifikan bagi komunitas lokal.
"Hilirisasi memberikan dampak positif yang luas. Dengan kemitraan yang melibatkan berbagai aktor, manfaatnya dapat dirasakan secara inklusif oleh masyarakat lokal," kata Hendi dikutip Senin (6/1).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebutuhan kemitraan berubah sesuai dengan tahapan perkembangan industri. Pada fase awal, fokus utama adalah pembangunan infrastruktur sosial seperti sekolah dan fasilitas kesehatan untuk mendukung masyarakat.
Seiring berkembangnya industri, fokus bergeser ke pelibatan UMKM lokal dalam rantai pasok serta pengembangan keterampilan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan industri hilirisasi.
Pada tahap industri yang telah mapan, kolaborasi lebih diarahkan pada pemberian bantuan permodalan kepada UMKM, pengembangan desa binaan, serta integrasi UMKM dalam rantai pasok utama perusahaan.
Hal ini memastikan bahwa masyarakat lokal tetap mendapatkan manfaat langsung dari keberadaan industri hilirisasi.
Meski demikian, Hendi mengungkap tantangan dalam pelaksanaan model kemitraan. Salah satu kendala adalah kurangnya aturan turunan terkait regulasi kemitraan di tingkat daerah.
Selain itu, keterlibatan akademisi dan NGO untuk mendampingi masyarakat lokal masih minim. Media juga dinilai perlu memperkuat narasi positif tentang manfaat hilirisasi untuk mendukung edukasi masyarakat.
Dengan demikian, Hendi bersama tim merekomendasikan penguatan regulasi daerah yang mendukung pola kemitraan, kolaborasi dengan akademisi untuk menyusun kurikulum pelatihan keterampilan, serta koordinasi yang lebih baik dengan NGO.
Media juga diharapkan berperan sebagai jembatan edukasi bagi masyarakat agar memahami manfaat hilirisasi terhadap perekonomian lokal dan nasional.
"Dengan melibatkan berbagai aktor dalam model kemitraan hexahelix, hilirisasi dapat menciptakan ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan, memberikan dampak positif yang nyata bagi masyarakat lokal," tambah Hendi.
Penelitian ini menjadi panduan penting bagi pemerintah, perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperkuat pola kemitraan di sektor hilirisasi, menciptakan ekonomi yang berdaya saing dan berkelanjutan.
(inh)