ANALISIS

Tingwe, Rokok Murah dan Redupnya Bisnis Sigaret

Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Rabu, 18 Jun 2025 08:20 WIB
Pengamat menyebut lesunya kinerja industri rokok, salah satunya Gudang Garam dipicu 4 faktor; penurunan daya beli, pergeseran selera, kenaikan cukai, kampanye.
Pengamat menduga penurunan kinerja industri rokok juga dipicu kenaikan tarif cukai. Kenaikan membuat perokok lari ke tingwe dan rokok ilegal. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat ada dua penyebab utama menurunnya kinerja rokok di Indonesia, yakni maraknya rokok ilegal dan meningkatnya konsumsi rokok elektrik yang belum diatur secara ketat.

"Kita melihat bahwa kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir cukup agresif, dan ini memang sejalan dengan agenda pengendalian konsumsi. Namun, tanpa penegakan hukum yang kuat dan sistem pengawasan distribusi yang solid, ruang gelap justru makin lebar," kata Rendy.

Ia melihat bahwa rokok ilegal masuk dengan harga lebih murah, tanpa beban cukai cukup menggerus pangsa pasar produk legal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, di sisi lain, rokok elektrik menjamur dengan penetrasi yang tinggi, terutama di kalangan anak muda. Akibatnya, pabrikan rokok konvensional seperti Gudang Garam terdampak yakni kehilangan pasar.

"Dampak kondisi ini juga menjalar ke hulu. Petani tembakau, meskipun umumnya tidak hanya menanam tembakau, ikut terdampak akibat berkurangnya serapan dari industri. Sebagian besar petani tembakau memang merupakan petani campuran yang juga menanam komoditas lain," jelas Rendy.

Senada, Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menekankan penyebab turunnya industri rokok bukan keberhasilan pemerintah melainkan banyak faktor lain. Misalnya, banyak yang pindah ke rokok yang lebih murah.

"Ada yang pindah ke rokok murah, ada yang pindah ke tembakau iris (tingwe), ada yang pindah ke REL, dan diduga juga tidak sedikit yang lari ke rokok ilegal," tegas Heri.

Menurut Heri, secara umum, perubahan harga sebetulnya tidak secara signifikan mengubah permintaan jumlah rokok. Namun, karena jenis rokok cukup banyak dan harganya sangat bervariasi dari yang mahal hingga yang murah, jadi elastisitasnya cukup tinggi.

"Artinya jika merek rokok tertentu harganya makin mahal, maka dimungkinkan akan mengubah permintaannya, dan beralih ke rokok yang relatif lebih murah. Hal ini juga cukup bergantung dengan pendapatan dan daya beli masyarakat," jelasnya.

Solusi

Oleh sebab itu, Heri menyarankan agar pemerintah bisa membimbing para petani tembakau yang terdampak untuk tidak mengandalkan perusahaan dalam negeri saja. Bisa difasilitasi untuk beriontasi ekspor.

"Pemerintah harus memperbanyak kemitraan antara petani tembakau dengan industri rokok, atau bagaimana mencari peluang ekspor, hal itu perlu peran pemerintah," kata Heri.

Sementara, Rendy menilai peran pemerintah sangat penting dalam menghadapi dampak ini, terutama terhadap petani.

"Menurut saya, disinilah posisi pemerintah menjadi krusial. Di satu sisi, pengendalian konsumsi rokok tetap harus menjadi prioritas, terutama untuk melindungi kelompok rentan seperti remaja dan masyarakat miskin," kata Rendy.

Menurutnya, mulai saat ini pemerintah perlu memiliki roadmap transisi ekonomi yang terukur dan adil bagi wilayah-wilayah sentra tembakau.

"Ini mencakup pelatihan petani untuk diversifikasi tanaman, pemberian insentif untuk alih komoditas, serta penyediaan infrastruktur dan akses pasar bagi hasil pertanian alternatif," pungkas Rendy.



(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER