Sementara itu bagi platform e-commerce, regulasi yang jelas bisa memberi kepastian hukum. Yusuf mengatakan mereka juga bisa mendapatkan insentif jika dilibatkan dalam mekanisme pemungutan pajak.
Kendati, beban operasional untuk menyesuaikan sistem, menanggung biaya administrasi, dan kemungkinan berkurangnya minat pedagang kecil bisa menjadi kerugian tersendiri, terlebih jika dibandingkan dengan platform asing yang mungkin tidak tunduk pada aturan serupa.
Kemudian bagi pedagang, terutama yang sudah tertib administrasi, kebijakan ini bisa membuka peluang untuk mendapatkan akses lebih besar ke fasilitas negara, termasuk peluang pembiayaan dan pelatihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun, kekhawatiran terbesar tetap pada potensi penurunan margin keuntungan akibat beban pajak tambahan, serta kerumitan administrasi yang bisa menyita waktu dan energi pelaku usaha kecil. Tanpa dukungan berupa edukasi dan sistem perpajakan yang ramah UMKM, banyak pedagang mungkin akan memilih keluar dari platform digital," jelasnya.
Dari sisi pembeli,Yusuf mengatakan dampaknya juga campur aduk. Di satu sisi, mereka bisa mendapatkan manfaat jangka panjang dari perbaikan layanan publik yang dibiayai dari pajak.
Namun, dalam jangka pendek, kenaikan harga hampir pasti terjadi karena penjual akan mengalihkan beban pajak ke konsumen. Di tengah pemulihan ekonomi, hal ini bisa menurunkan daya beli masyarakat dan mempersempit akses terhadap produk yang sebelumnya terjangkau.
Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan pemerintah harus segera merealisasikan rencana pemajakan terhadap pedagang e-commerce sebagai langkah konkret memperluas basis penerimaan negara dan memastikan keadilan fiskal di era digital.
"Ketika platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada terus mencatatkan lonjakan transaksi, negara tak bisa terus membiarkan sektor ini beroperasi tanpa kontribusi yang sepadan," jelasnya.
Tanpa perlakuan setara, sambungnya, pelaku usaha konvensional akan terus tertekan oleh kompetisi yang tidak adil. Lebih jauh, membiarkan sektor digital tanpa kewajiban fiskal akan memperdalam ketimpangan dan melemahkan disiplin pajak nasional.
Syafruddin mengatakan pemerintah harus memanfaatkan kekuatan teknologi digital untuk mengotomatisasi proses pemungutan pajak di tingkat platform.
"Dengan menjadikan marketplace sebagai pemungut, bukan hanya pelapor, pemerintah akan meminimalkan kebocoran, mengurangi beban administratif, dan memperkuat akuntabilitas fiskal. Sistem ini juga akan mendorong pelaku UMKM untuk lebih patuh, asal disertai edukasi fiskal yang luas dan sistem pelaporan yang mudah dan ramah pengguna," katanya.
Syafruddin menilai pajak pedagang bukan mempersulit usaha kecil, tetapi menciptakan sistem fiskal yang adil, transparan, dan modern. Pajak e-commerce bukan sekadar sumber pendapatan, melainkan simbol kesiapan negara dalam menghadapi transformasi ekonomi digital.
"Pemerintah harus menerapkan pajak e-commerce secara cermat dan adil agar kebijakan ini benar-benar memperkuat fondasi fiskal tanpa mematikan semangat pelaku usaha kecil. Dengan menetapkan ambang batas omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun, pemerintah telah menunjukkan niat untuk hanya memajaki pelaku usaha yang sudah berkembang dan bukan yang baru merintis," katanya.
Namun, ia mengatakan efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada transparansi data, integrasi lintas platform, serta edukasi kepada wajib pajak digital.
Dalam hal ini, negara tidak boleh hanya fokus pada menambah penerimaan, melainkan juga harus memperkuat ekosistem digital yang sehat dan kompetitif.