Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) Muhammad Anwar mencoba menyimulasikan kenaikan tarif tersebut. Ia menekankan dampak positif yang akan dikantongi driver tetap kecil, terlebih ada lonjakan harga kebutuhan pokok, biaya operasional kendaraan, sampai beban hidup lainnya.
Anwar berasumsi pengemudi ojek online menyelesaikan rata-rata 10 trip per hari, dengan jarak 5 kilometer (km) per perjalanan, berarti total jarak tempuh harian pengemudi mencapai 50 km.
"Jika menggunakan asumsi tarif dasar sebelum kenaikan sebesar Rp2.500 per km, maka pendapatan kotor harian pengemudi adalah Rp125 ribu. Namun, dengan adanya potongan 20 persen dari aplikator, penghasilan bersih yang dibawa pulang pengemudi hanya sekitar Rp100 ribu per hari," hitungan Anwar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika pemerintah berencana menaikkan tarif ojol sebesar 8 persen-15 persen, maka tarif per km akan naik menjadi sekitar Rp2.700 hingga Rp2.875. Jika dihitung ulang dengan jarak tempuh yang sama (50 km), pendapatan kotor harian akan meningkat menjadi Rp135 ribu pada skenario kenaikan 8 persen dan Rp143.750 pada kenaikan 15 persen. Setelah dipotong 20 persen oleh aplikator, maka pengemudi akan membawa pulang sekitar Rp108 ribu-Rp115 ribu per hari," jelasnya.
Dengan kata lain, pendapatan bersih harian pengemudi ojol cuma naik antara Rp8.000 hingga Rp15 ribu. Anwar menilai manfaat kenaikan tarif tersebut jelas tidak terasa signifikan karena potongan 20 persen tetap tidak dihapus.
Pihak yang diuntungkan dalam skenario kenaikan tarif ojol adalah aplikator. Perusahaan seperti Gojek, Grab, sampai Maxim otomatis kecipratan cuan tambahan berkat ide pemerintah. Misalnya, dari total pendapatan kotor Rp135 ribu per hari saat tarif naik 8 persen, aplikator langsung meraup Rp27 ribu hanya dari potongan 1 driver.
"Lebih jauh lagi, kebijakan kenaikan tarif ini justru bisa dilihat sebagai pengalihan tekanan dari aplikator ke konsumen, tanpa menyentuh akar tuntutan pengemudi yang sejak lama meminta penurunan potongan komisi, sistem insentif yang transparan, serta perlindungan kerja layaknya sektor formal," tutur Anwar.
"Kenaikan tarif ojol jelas akan menambah beban penumpang, terutama mereka yang bergantung pada layanan ini setiap hari untuk mobilitas kerja, sekolah, atau keperluan keluarga. Namun, di tengah kondisi transportasi publik yang belum memadai, belum nyaman, dan belum menjangkau banyak kawasan permukiman, pilihan masyarakat khususnya para pekerja perkotaan masih sangat terbatas," tambahnya.
Urgensi kenaikan dan berapa tarif ojol yang ideal?
Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti Aloysius Uwiyono menilai kenaikan tarif ojol sampai 15 persen sebenarnya sah-sah saja. Apalagi, niatnya untuk meningkatkan penghasilan para driver. Ia juga yakin kenaikan tarif tak berpengaruh signifikan ke kantong konsumen.
"Kenaikan tarif ojol sebesar 15 persen saya anggap wajar untuk meningkatkan penghasilan para ojol. Meskipun menurut saya masih belum meningkatkan kesejahteraan mereka, paling tidak penghasilan mereka meningkat lebih baik," ungkap Aloysius.
Ia menyoroti sulitnya pemerintah mengintervensi potongan aplikator. Hubungan antara aplikator dengan pengemudi ojol memang masih dalam ranah privat. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa ikut campur lebih jauh.
"Mereka (driver ojol) tidak memiliki hubungan kerja sebagai pekerja. Oleh karena itu, pemerintah bertindak sebagai mediator yang memediasi terhadap penentuan kenaikan tarif ojol. Kenaikan ini harus disetujui aplikator dan pengemudi ojol," tuturnya.
"Solusi ini merupakan solusi berdasarkan 'win-win solution'. Di satu sisi, ada peningkatan penghasilan bagi pengemudi ojol. Dari segi perusahaan, tidak merugi. Jadi, bukan solusi asal-asalan," tegas Aloysius.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga mendukung niat pemerintah. Ia mengingatkan tarif ojol sudah 3 tahun tidak naik.
Huda menyebut para mitra dituntut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya di tengah sejumlah kenaikan harga. Ia menganggap kenaikan tarif layanan menjadi salah satu opsi untuk mengakomodir kebutuhan para driver. Ia bahkan menilai kenaikan tarif ojol mestinya dilakukan berkala, misalnya secara tahunan.
"Pemerintah melakukan kajian. Bukan hanya untuk menentukan besaran kenaikan tarif, namun juga formulasi kenaikannya. Jadi, ada formulasi baku untuk dijadikan panduan menentukan tarif tiap tahun. Formula tersebut minimal menyertakan inflasi dan pertumbuhan sektoral sebagai variabel pembentuk pertumbuhan tarif," sarannya kepada pemerintah.
"Dengan adanya formulasi tersebut, kenaikan tarif tahun ini bisa disesuaikan. Jika berkaca kepada inflasi 2025 yang ditargetkan mencapai 2,5 persen dan pertumbuhan ekonomi di angka 4,8 persen, kenaikan (tarif ojol) bisa di angka 7,3 persen," perhitungan Huda.
Ia mengamini bahwa masyarakat pasti akan terbebani. Akan tetapi, protes tersebut bisa diminimalisir jika kenaikannya dilakukan secara tahunan. Huda menegaskan bahwa harga-harga barang lainnya juga mengalami kenaikan.
"Potensi untuk mengurangi permintaan akan ada dari penumpang jikalau kenaikannya di luar batas kewajaran dan tidak ada penjelasan secara ilmiah. Namun, jika kenaikannya bisa dijelaskan oleh metode ilmiah dan tidak terlampau tinggi, saya rasa penumpang dapat menerima dengan baik," tutupnya.
(pta)