Dengan kondisi ini, maka Riefky melihat banyak 'PR' yang harus diselesaikan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, meski tak akan bisa mencapai pertumbuhan 8 persen seperti yang dicita-citakan Prabowo.
"Kondisi saat ini, kita melihat memang 8 persen itu sudah relatively impossible dilakukan dalam beberapa tahun mendatang. Setahun atau dua tahun ke depan, saya rasa sangat jauh dari 8 persen. Kita bahkan 5 persen saja itu struggling," terangnya.
Bahkan, kehadiran Danantara untuk mengoptimalkan investasi pemerintah pun dinilai tak akan banyak membantu. Pasalnya, belum diketahui sektor investasi yang akan digarap oleh lembaga tersebut di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Danantara ini akan sangat tergantung dari investment seperti apa yang mereka lakukan nanti. Kita masih belum tahu, strukturnya aja pun juga belum sepenuhnya rampung. Jadi, memang sangat sulit untuk menilai seberapa besar peran nanti Danantara dalam mendukung pertumbuhan ekonomi," imbuhnya.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang memakan anggaran sangat besar pun dinilai dampaknya ke perekonomian sangat minim dalam 5 tahun ke depan.
"MBG ini kan menyasar di nutrisi anak-anak. Yang tentu dampak produktivitasnya ini baru terlihat di jangka panjang," kata Riefky.
Langkah yang dinilai bisa diandalkan untuk menggenjot perekonomian adalah deregulasi impor yang baru saja diumumkan pemerintah pekan ini.
Selain itu, langkah ini juga bisa memperbaiki kebijakan yang menghambat iklim investasi di Tanah Air, seperti pemberantasan aktivita rente dan ormas.
"Sehingga ujung-ujungnya kita bisa meningkatkan investasi. Kalau investasi bisa meningkat, maka lapangan kerja tercipta, lapangan kerja tercipta, daya beli masyarakat meningkat, daya beli masyarakat meningkat, pertumbuhan ekonomi bisa meningkat. Nah, ini yang saya rasa memiliki peluang paling besar," tegasnya.
Sementara, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai target pertumbuhan ekonomi sampai 5,8 persen di tahun depan terlalu tinggi dan di atas kemampuan pemerintah.
"Menurut saya, target tersebut tentu overshooting, jika dilihat dari perkembangan ekonomi domestik dan global belakangan," ujar Ronny.
Menurutnya, di domestik, imbas efisiensi masih sangat terasa. Apabila tahun depan kebijakan tersebut berlanjut alias tidak di relaksasi, maka tekanan terhadap pertumbuhan akan tetap sama.
Kondisi ini akan mempersulit di tengah kinerja konsumsi rumah tangga yang juga belum terlalu pulih di tahun depan, karena daya beli masyarakat masih cukup tertekan.
Di ranah global, meski perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) sudah mulai agak reda, pertumbuhan ekonomi global masih akan tertekan, terutama karena ketidakpastian global akibat semakin tingginya tensi geopolitik di antara beberapa negara great power.
"Risikonya, ancaman terhadap kurs mata uang masih tinggi dan potensi FDI (investasi asing) masuk ke Indonesia akan menurun," jelasnya.
Ronny menilai untuk sebuah target tentu tak bisa disalahkan dan sah-sah saja. Setidaknya bisa dimaknai positif di dalam konteks untuk membangun optimisme publik, terutama untuk pelaku pasar.
Kendati demikian, angka 5,2 persen-5,8 persen dinilai memang terlalu tinggi. Ia meramal perekonomian tahun depan tak akan jauh beda dari proyeksi tahun ini.
"Prediksi saya, realistisnya pertumbuhan ekonomi tahun depan 5 persen - 5,2 persen," tegasnya.
Sementara untuk cita-cita pertumbuhan ekonomi 8 persen, dipandang masih akan belum akan tercapai dalam lima tahun mendatang. Kehadiran Danantara pun dinilai tak terlalu banyak membantu.
"Apalagi jika model dan strategi kebijakan ekonomi nasional seperti hari ini. Pasti banyak kebijakan dan program yang bisa digunakan. Tapi semuanya tentu kembali kepada platform ekonomi pemerintah dan pemerintah yakin dengan visi misinya itu. Danantara juga tentu ada peran, cuma untuk 8 persen, perannya tentu tak terlalu besar," pungkasnya.