Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menyatakan pemerintah menyiapkan tiga langkah strategis untuk menyelamatkan industri nasional dari dampak ketegangan geopolitik global dan fragmentasi ekonomi.
"Pemerintah dalam menghadapi dinamika global yang makin kompleks, terus berupaya meningkatkan daya saing dan memperluas akses pasar secara sistematis," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (2/7).
Langkah pertama, kata Faisol, adalah mendorong linearisasi dan diversifikasi produk manufaktur agar kontribusi Indonesia dalam rantai pasok global semakin besar. Strategi ini sekaligus diarahkan agar tetap selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, pemerintah fokus pada perluasan pasar ekspor dan penguatan pasar domestik. Ia menyebut bahwa perjanjian dagang antara Indonesia dan Uni Eropa sudah mendekati titik akhir dan akan segera ditandatangani.
Selain itu, beberapa negara lain juga menunjukkan minat serupa untuk menjalin kerja sama dagang.
"Ini bagian dari fokus kita memperluas pasar ekspor dan pasar domestik," kata Faisol.
Langkah ketiga adalah penguatan diplomasi perdagangan bilateral dan multilateral, sekaligus antisipasi terhadap potensi masuknya barang impor secara tidak adil akibat fenomena trade diversion di tengah ketegangan dagang global.
Menurut Faisol, produk-produk ekspor dari negara lain kini beralih masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang tidak wajar, dan ini menjadi ancaman bagi industri nasional.
"Untuk itu, pemerintah telah menyiapkan tiga mekanisme utama yaitu anti-dumping, kemudian countervailing duty, kemudian safeguard, yaitu tindakan pengamanan," ujar Faisol.
Ia menilai ketegangan geopolitik saat ini mendorong terjadinya relokasi investasi dari negara-negara produsen besar ke Asia Tenggara sebagai bagian dari strategi diversifikasi rantai pasok.
Namun di sisi lain, tekanan terhadap investasi hijau juga meningkat karena krisis energi global mendorong negara-negara untuk memprioritaskan keamanan energi jangka pendek.
Berdasarkan data dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), aliran investasi asing langsung (FDI) ke negara berkembang di Asia turun sekitar 3 persen, dari US$622 miliar menjadi US$605 miliar pada 2024.
Namun, kawasan Asia Tenggara mencatat tren positif, dengan kenaikan FDI sebesar 10 persen dari US$205 miliar menjadi US$225 miliar.
Faisol menyebut tren positif ini turut dikonfirmasi oleh data Council on Foreign Relations yang menunjukkan perusahaan-perusahaan besar dari AS dan Uni Eropa mulai mengalihkan sumber produksi ke Asia Tenggara.
Pada 2019, sebanyak 61 persen perusahaan berbasis di AS dan UE masih bergantung pada China sebagai pusat produksi. Namun pada kuartal I-2025, angkanya turun menjadi 42 persen. Sementara Asia Tenggara naik dari 14 persen menjadi 26 persen.
"Ini sinyal positif bahwa strategi relokasi dan diversifikasi basis produksi ini menjadi pilihan utama dalam mengurangi ketegangan terhadap satu negara sekitar. Kondisi ini menandakan bahwa Asia Tenggara termasuk Indonesia mulai menjadi lokasi yang semakin strategis bagi relokasi dan perluasan investasi global," ujarnya.
Faisol juga mencontohkan bagaimana relokasi industri panel surya dari China ke kawasan Asia menjadi peluang investasi yang dapat dimanfaatkan Indonesia.
Setelah dikenakan tarif oleh Amerika Serikat, produk panel surya asal China mulai kehilangan daya saing dan banyak produsen memindahkan basis produksinya ke Vietnam, Indonesia, Thailand, dan Malaysia.