Kementerian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan Polri mengungkap praktik pengoplosan beras. Hasil investigasi menyebutkan 212 merek beras terbukti tidak sesuai standar mutu.
Investigasi yang dilakukan pada periode 6 hingga 23 Juni 2025 ini mencakup 268 sampel beras dari 212 merek yang tersebar di 10 provinsi.
Sampel ini melibatkan dua kategori beras, yaitu premium dan medium, dengan fokus utama pada parameter mutu, seperti kadar air, persentase beras kepala, butir patah, dan derajat sosoh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, apa itu beras oplosan?
Lihat Juga : |
Berdasarkan temuan Kementan dan Satgas Pangan, beras dioplos dengan mencampur beras premium dengan beras medium. Kemudian dijual dengan harga premium.
Padahal berdasarkan standar mutu beras yang diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020, beras premium berkadar air maksimal 14 persen, butir kepala minimal 85 persen, dan butir patah maksimal 14,5 persen.
Sedangkan beras medium berkadar air maksimal 14 persen, butir kepala minimal 80 persen, dan butir patah maksimal 22 persen.
"Sangat kami sayangkan, sejumlah perusahaan besar justru terindikasi tidak mematuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Masyarakat membeli beras premium dengan harapan kualitasnya sesuai standar, tetapi kenyataannya tidak demikian. Kalau diibaratkan, ini seperti membeli emas 24 karat namun yang diterima ternyata hanya emas 18 karat," ujar Amran.
Sementara itu, para pakar menyebut beras oplosan bisa dikenali secara kasat mata. Pakar Teknologi Industri Pertanian IPB Tajuddin Bantacut mengatakan beras oplosan dapat terlihat dari warna yang tidak seragam, butiran yang berbeda ukuran, dan tekstur nasi yang lembek setelah dimasak.
"Jika menemukan nasi yang berbeda dari biasanya seperti warna, bau (aroma), tekstur dan butiran maka dapat 'dicurigai' sebagai beras yang telah dioplos dalam arti terdapat kerusakan mutu atau keberadaan benda asing," katanya dikutip dari laman IPB University.
Dalam beberapa kasus, sambungnya, beras oplosan juga dicampur dengan bahan tambahan benda asing termasuk zat pewarna atau pengawet berbahaya yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Ia menambahkan, terdapat tiga jenis beras yang dikaitkan oplosan yang beredar di masyarakat. Pertama, beras campuran yang dicampur dengan bahan lain seperti jagung.
Kedua, beras "blended" atau campuran beberapa jenis beras untuk memperbaiki rasa dan tekstur. Ketiga, beras yang dicampur dengan bahan tidak lazim atau sudah rusak, kemudian dikilapkan atau dipoles ulang agar tampak bagus kembali, padahal mutunya sudah menurun.
Karenanya, ia mengimbau masyarakat hati-hati dalam memilih beras.
"Hindari membeli beras tanpa label atau dari sumber yang tidak jelas. Cuci beras sebelum dimasak dan waspadai bila ada benda asing yang mengambang," ucapnya.
(fby/pta)