CNN INDEPTH

Alarm Nyaring Pengangguran RI, Bukan Hanya soal Lapangan Kerja

Dewi Safitri | CNN Indonesia
Kamis, 17 Jul 2025 10:55 WIB
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) dan produktivitas tenaga kerja.
Pengusaha menilai janji program Link and Match yang digagas pemerintah dan merupakan kerjasama Kementerian Pendidikan dan Industri masih jauh dari realisasi. (CNNIndonesia/Adi Ibrahim)
Jakarta, CNN Indonesia --

Di balik riuh isu lebih dari satu juta sarjana menganggur dan krisis lapangan kerja, Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) dan produktivitas.

Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019 menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat rendah, yakni urutan ke-74 dari 79 negara, atau berada di posisi ke-6 terendah secara global.

Meskipun terdapat sedikit peningkatan skor PISA Indonesia pada tahun 2022 dalam literasi, matematika, dan sains, tren rata-rata hasil PISA Indonesia menunjukkan kecenderungan fluktuatif namun stagnan dalam rentang waktu 20 tahun terakhir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini mengindikasikan bahwa perbaikan yang terjadi masih belum konsisten atau cukup signifikan untuk mengubah posisi fundamental Indonesia dalam skala global.

Berdasarkan peringkat kualitas pendidikan di Asia Tenggara, beberapa studi menempatkan Indonesia di posisi ke-4, tertinggal dari Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 2), dan Thailand (peringkat 3).

Menurut OECD, tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia juga masih rendah, dengan angka gross enrollment ratio sebesar 31,5%, di bawah Malaysia (36%) dan jauh di bawah Thailand (51,2%).

Situasi ini berdampak langsung pada daya saing Indonesia yang diukur dari kualitas sumber dayanya. Menurut The World Economic Forum (WEF) tahun 2018, daya saing Indonesia menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei.

Produktivitas juga rendah

Selain masalah kualitas, tenaga kerja Indonesia juga punya masalah produktivitas. Bahkan, berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Pada 2023, produktivitas per pekerja Indonesia hanya sekitar US$14 per jam kerja, menempatkan Indonesia di peringkat kelima di kawasan ini.

Negara-negara seperti Singapura (US$ 74), Brunei (US$49), Malaysia (US$ 26), dan Thailand (US$ 15) memiliki produktivitas tenaga kerja yang jauh lebih tinggi. Hal ini mempertegas bahwa kontribusi tenaga kerja Indonesia terhadap PDB per kapita masih rendah dibandingkan negara tetangga.

Peringkat ini mencerminkan kelemahan dalam berbagai pilar daya saing, termasuk kualitas sumber daya manusia, yang sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan.

insertgrafis: KRISIS TENAGA KERJA INDONESIA 2025

Link and Match dengan realisasi 1,1 juta sarjana pengangguran

Meski memiliki lebih dari 4.500 institusi pendidikan tinggi dan 8,6 juta mahasiswa, kualitas pendidikan universitas di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Berdasar QS World Ranking 2025, Universitas Indonesia menempati peringkat 206 dunia UGM di peringkat 239 dan ITB di peringkat 256.

Sebagai perbandingan, National University of Singapore berada di peringkat 8 dunia, University of Malaya (Malaysia) di peringkat 65 dunia.

Hanya 5 universitas Indonesia yang masuk 500 besar dunia. Ini menunjukkan bahwa reputasi akademik, kualitas riset, dan kolaborasi internasional masih perlu ditingkatkan secara signifikan.

Di sisi lain, kualitas universitas di Indonesia juga sangat tidak seragam.

Ketimpangan ini paling nyata antara universitas negeri terkemuka dan mayoritas universitas swasta. Hanya segelintir universitas negeri yang konsisten menempati klaster teratas dalam hal mutu pengajaran, riset, dan inovasi.

Sebaliknya, sebagian besar universitas swasta masih tertinggal dalam berbagai aspek. Menurut data Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, total universitas swasta yang terakreditasi di Indonesia, hanya sekitar 7% yang mendapat peringkat A (Unggul) -- menunjukkan bahwa sebagian besar universitas swasta masih belum memenuhi standar mutu terbaik.

Tak heran kalau kemudian meski sudah bergelar sarjana, banyak lulusan universitas tak terserap lapangan kerja.

Meski faktor lambatnya pertumbuhan sektor industri turut berperan dalam berkurang lapangan kerja tersedia, namun sarjana yang dianggap kurang memenuhi standar industri ini sudah dikeluhkan antara lain oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam satu dekade terakhir.

Pengusaha menilai janji program Link and Match yang digagas pemerintah dan merupakan kerjasama Kementerian Pendidikan dan Industri masih jauh dari realisasi.

Program ini diluncurkan sejak 1993 di bawah Mendikbud Wardiman Djojonegoro dan Menaker Abdul Latief dengan gagasan merekrut tenaga pengajar dari praktisi, membuka program vokasi hingga magang kerja sektor industri. Lebih dari tiga dekade setelahnya sarjana tak siap pakai dalam industri jumlahnya justru terus bertambah.

Data Kementerian Ketenagakerjaan pada Juli 2025 menunjukkan dari total 7,28 juta penganggur 1.010.652 diantaranya berstatus sarjana.

Studi Bank Dunia 2010 mendapati hanya sekitar 19% lulusan pendidikan tinggi di Indonesia yang dinilai benar-benar employable alias siap kerja, karena minimnya soft skills dan keterampilan praktis.

Studi-studi lanjutan World Bank dan lembaga lain seperti McKinsey dan ADB juga mendukung temuan serupa -- bahwa sebagian besar lulusan Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi kualifikasi pasar kerja modern, terutama dalam sektor-sektor yang tumbuh pesat seperti teknologi informasi, manufaktur modern, dan jasa profesional.

Industri informal tak mampu serap sarjana

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER