Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengakui bahwa tarif 19 persen yang diberikan AS memang terendah di kawasan ASEAN, jika dibandingkan dengan negara seperti Malaysia (25 persen), Vietnam (20 persen), Thailand dan Kamboja (36 persen), serta Laos dan Myanmar yang di atas 40 persen.
Namun menurutnya, keberhasilan diplomasi harus dibayar Indonesia dengan sejumlah konsekuensi.
"Kita memang mendapat tarif rendah, tapi apa yang dikorbankan? Kepentingan Trump jelas: mengurangi defisit dagang dengan Indonesia dan membuka akses seluas-luasnya ke pasar kita," ujar Fabby dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Rabu (16/7/).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fabby mengatakan kesepakatan impor yang dilakukan Indonesia demi mendapatkan tarif murah dari Trump bisa berdampak pada daya saing industri dalam negeri.
Pasalnya, biaya impor gas dari AS bisa 30-40 persen lebih mahal dibandingkan jika komoditas itu diambil dari Timur Tengah atau negara tetangga seperti Singapura.
Maklum, jarak pengiriman impor energi menjadi lebih jauh jika harus membeli dari AS.
"Jika kita impor LNG dari AS, biayanya jauh lebih tinggi. Padahal industri dalam negeri kita sangat tergantung pada gas dan pemerintah menerapkan harga gas industri yang ditetapkan. Ini bisa berdampak besar pada daya saing industri kita," ujarnya.
Fabby juga menyinggung kemungkinan AS meminta akses lebih besar terhadap komoditas strategis Indonesia, seperti tembaga, yang sangat penting untuk kebutuhan energi dan industri listrik di AS.
"Kalau kita lihat kepentingan AS, bukan hanya energi tapi juga akses ke mineral penting seperti tembaga. Apakah ini bagian dari kesepakatan, juga harus dikaji lebih jauh," katanya.
Nah, berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, ia meminta pemerintah transparan.
Pemerintah harus menjelaskan secara rinci mengenai kesepakatan yang mereka capai. Dalam kaitannya dengan impor energi Rp244 triliun, ia meminta pemerintah menjelaskan mekanisme impor energi tersebut.
Penjelasan menyangkut siapa yang akan mengimpor, impor akan dilakukan dalam bentuk kontrak jangka panjang atau pembelian di pasar spot.
"Belum jelas apakah swasta atau BUMN seperti Pertamina yang akan mengimpor, dan berapa volumenya. Ini perlu transparansi karena nilainya sangat besar," katanya.
(agt)