Fenomena 'rojali' alias rombongan jarang beli tengah menjadi sorotan. Istilah ini merujuk pada meningkatnya orang yang datang ke pusat perbelanjaan, tetapi hanya sedikit yang melakukan transaksi atau bahkan tidak ada yang membeli sama sekali.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menilai fenomena 'rojali' terjadi lantaran daya beli masyarakat yang melemah.
"Sekarang memang terjadi ini (fenomena rojali) lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," ujar Alphonsus di Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur, Rabu (23/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, jumlah pengunjung pusat perbelanjaan meningkat 10 persen dibandingkan tahun lalu. Namun, masyarakat yang datang ke mal lebih sering hanya melihat-lihat, kalaupun belanja cuma sedikit.
Lihat Juga : |
Ia mengatakan dengan fenomena 'rojali" itu, pendapatan mal tetap tumbuh tapi melambat.
"Tahun 2025 ini tetap tumbuh (omzetnya) dibandingkan tahun lalu, tapi hanya single digit, artinya kurang dari 10 persen," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan Septo Soepriyatno mengatakan fenomena 'rojali' disebabkan perubahan perilaku masyarakat dari belanja di toko fisik menjadi belanja online. Fenomena ini katanya terjadi sejak pandemi covid-19.
Karena itu, fungsi mal juga berubah tidak hanya sebagai tempat belanja, tapi juga menawarkan pengalaman.
"Yang tadinya tempat belanja, sekarang udah mulai menyiapkan spot terkait rekreasi, hiburan, sampai interaksi sosial. Makanya kita lihat di ITC Mangga Dua, sudah mulai berubah, di lantai dasarnya sudah mulai banyak F&B (food and beverage)," katanya.
Ia pun membantah fenomena rojali menunjukkan bahwa masyarakat sekarang enggan belanja.
"Bukan berarti rojali tidak belanja. Yang terjadi di mal, masyarakat datang pengen berinteraksi sosial, kumpul keluarga, jalan-jalan, (lihat) barang bagus, checkout online," sambungnya.
Lantas apa yang menyebabkan fenomena 'rojali?
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan fenomena 'rojali' terjadi lantaran daya beli masyarakat kelas menengah turun akibat kenaikan harga bahan pokok dan energi.
Jangankan belanja, kelas menengah kini lebih memilih menyimpan uang di deposito, membeli emas digital, atau mengamankan dana dalam bentuk obligasi.
"Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kelas menengah-penopang utama konsumsi Indonesia-tidak lagi percaya diri untuk membelanjakan uangnya. Ketika inflasi barang kebutuhan pokok tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan, dan ketika ketidakpastian global membuat aset menjadi tempat perlindungan yang lebih menarik dibanding pengeluaran konsumtif. Maka wajar jika mal penuh, tetapi kasir sepi," terang Syafruddin pada CNNIndonesia.com.
Syafruddin mengatakan fenomena 'rojali' bukan tren gaya hidup. Ia adalah cermin ekonomi yang menggelap, mengingatkan stabilitas bukan soal statistik makro tetapi soal apakah orang cukup percaya diri untuk membelanjakan uangnya.
Jika kepercayaan itu hilang, sambungnya, maka konsumsi yang menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat.
Karena itu, ia menyarankan pemerintah tidak memandang belanja masyarakat sebagai indikator semu.
"Pemerintah perlu jujur membaca sinyal ini dan berpindah dari narasi pemulihan menuju strategi penguatan daya beli. Subsidi energi dan pangan yang lebih tepat sasaran, stabilitas harga domestik, serta penguatan jaring pengaman sosial menjadi keharusan, bukan pilihan," jelasnya.
Sebaliknya, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan fenomena 'rojali' tidak serta merta berkaitan dengan penurunan daya beli melemah.
Lihat Juga : |
Fenomena 'rojali' katanya terjadi lantaran pergeseran perilaku masyarakat terutama kelas menengah yang kini lebih suka belanja online.
"Kita bisa lihat peningkatan ritel itu terjadi di e-commerce juga. Jadi ke mal bukan lagi untuk berbelanja," katanya.
Ia mengatakan kondisi ini akhirnya juga mengubah karakter mal dari sekadar tempat belanja, menjadi yang menawarkan pengalaman ke konsumen.
Karenanya, mal yang bertahan adalah yang menawarkan pengalaman.
"Mal untuk hangout yang khusus memang untuk 'rojali'. Jadi mal-mal untuk ngopi, untuk nongkrong, untuk sosialita, tanpa berbelanja, kecuali cuma buat nongkrong, beli kopi, dan lain-lain gitu," katanya.
Kemudian mal yang juga bertahan adalah kelas atas yang menjual barang branded yang mahal sehingga kecil kemungkinan dijual di e-commerce karena takut terjadi penipuan.
"Jadi kalau kita kaitkan masalah 'rojali' ini dalam hemat saya, bukan masalah penurunan daya beli, tapi lebih kepada perubahan customer behavior," ujarnya.
Ronny mengatakan perubahan perilaku terjadi lantaran terjadi pergeseran demografis Indonesia di mana 56 persen adalah generasi Z dan millennial. Mereka adalah mayoritas kelas menengah.
"Perilaku berbelanja mereka yang berubah, sehingga ke mal itu bukan lagi dalam konteks berbelanja, tapi lebih kepada konteks sosialita, pergaulan, hangout, ngopi, dan lain-lain," jelasnya.
(sfr)