Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap sejumlah daerah paling marak praktik premanisme, yang dinilai mengganggu iklim bisnis dan investasi, khususnya di kawasan industri.
Wakil Ketua Umum Apindo Sanny Iskandar membeberkan fenomena ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga mulai ditemukan di luar Jawa.
Di Pulau Jawa, premanisme mengganggu kegiatan usaha di wilayah-wilayah industri seperti Tangerang (Banten), Bekasi, Karawang (Jawa Barat), Jawa Tengah, Jawa Timur. Bahkan Subang, Jawa Barat, yang kini tengah berkembang sebagai kawasan industri baru juga marak aksi premanisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara di luar Jawa, praktik serupa banyak terjadi di Kepulauan Riau, khususnya di Batam, yang dikenal sebagai salah satu pusat industri dan investasi nasional.
"Kalau bicara kegiatan industri manufaktur, tentunya memang di daerah Tangerang Banten, Bekasi, Karawang, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan daerah industri baru seperti Subang yang kemarin juga terkait dengan BYD, itu juga terkadang sampai ke daerah Kepulauan Riau juga di Batam khususnya. Jadi memang ini sangat mengganggu sekali," ujar Sanny dalam konferensi pers di Kantor Pusat Apindo, Jakarta Selatan, Selasa (29/7).
Pernyataan Sanny merujuk pada kasus dugaan premanisme oleh organisasi masyarakat (ormas) yang sempat mengganggu pembangunan fasilitas produksi perusahaan otomotif asal China, BYD, di Subang, Jawa Barat. Meskipun masalah disebut telah berhasil diselesaikan oleh pihak perusahaan secara mandiri, tetapi insiden ini menjadi sorotan pemerintah.
Menurutnya, gangguan keamanan seperti premanisme memiliki kaitan dengan kondisi ketenagakerjaan. Ketika penyerapan tenaga kerja lemah atau terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, potensi gangguan terhadap dunia usaha cenderung meningkat.
"Memang ini enggak bisa lepas dari menyangkut masalah yang terkait dengan ketersediaan atau penyerapan tenaga kerja. Di mana memang penyerapan itu tidak terjadi atau bahkan justru banyak PHK membuat praktik-praktik gangguan keamanan itu terjadi," jelasnya.
Ia menambahkan penindakan oleh aparat tidak cukup bila hanya dilakukan secara insidental.
"Kalau ada operasi rapi, kalau tidak, ya tidak. Jadi tidak cukup seperti waktu itu dilakukan operasi dan sebagainya, karena itu kan jangka waktunya terbatas," katanya.
Sanny juga menyebut kerugian akibat premanisme tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha yang telah beroperasi, tetapi juga berdampak pada potensi investasi yang batal masuk ke Indonesia.
"Kerugian itu bukan terjadi dari segi angka yang dialami oleh para pelaku usaha pada saat yang sudah berjalan. Namun juga kerugian yang dialami negara itu adalah terhambatnya daripada potensi investasi yang sebetulnya akan masuk, namun karena situasi yang ada di dalam negeri seperti itu tidak jadi masuk," lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan premanisme menjadi salah satu faktor penyebab ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
"Premanisme ini memang memengaruhi supply side dan demand side. Supply side itu berbicara bagaimana menambahkan ongkos produksi kita. Kalau kita mau belanja ke minimarket misalnya, tahu-tahu kita bayar parkir Rp2.000 padahal kita hanya beli minum, nah ini kan juga mempengaruhi demand," ujarnya.
Ajib menilai untuk memperkuat daya saing di dalam negeri, Indonesia perlu mendorong terciptanya ekonomi berbiaya rendah (low cost economy) yang salah satunya dicapai dengan menekan praktik premanisme.
"Dalam orientasi jangka panjang selain kita berbicara fokus competitiveness, kita bisa naik dengan negosiasi dengan tarif Trump, dan lain-lain. Yang tidak kalah penting selanjutnya adalah bagaimana kita mendorong adanya low cost economy. Salah satu variabel low cost economy adalah premanisme," ucapnya.
Ia menambahkan premanisme tak hanya bersifat fisik atau terlihat di lapangan, tetapi juga bisa terjadi dalam bentuk lain yang menekan pelaku usaha.
"Premanisme ini kan kerah biru maupun kerah putih, apapun itu dalam konteks luas. Jadi sekali lagi yang kita dorong adalah dalam skala yang lebih besar, yaitu mengurangi premanisme dalam segala bentuknya untuk mendorong low cost economy," jelas Ajib.
(del/pta)