Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan pemerintah masih terus melanjutkan proses negosiasi tarif dagang dengan Amerika Serikat (AS), meski Presiden AS Donald Trump telah menetapkan tarif resiprokal sebesar 19 persen untuk Indonesia berlaku pada 7 Agustus 2025.
"Sekarang prosesnya masih berjalan ya, memang yang resiprokal kan kita dapet 19 persen itu berlaku tujuh hari setelah tanggal 31 Juli kalau pengumumannya ya. Dan sekarang proses negosiasi juga masih berjalan sebenarnya. Mudah-mudahan sebelum 1 September sudah selesai," ujarnya dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Senin (4/8).
Dalam proses perundingan tersebut, pemerintah terus mendorong penurunan tarif untuk komoditas tertentu, terutama yang tidak dimiliki atau tidak diproduksi oleh Negeri Paman Sam. Namun, Budi belum menyampaikan secara rinci produk-produk yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk komoditas (yang dikenakan tarif 19 persen), mungkin belum saya sampaikan dulu ya komoditas apa, tetapi paling tidak di dalam proses negosiasi nanti kita juga ingin mendapatkan penurunan tarif. Ya seperti komoditas yang tidak dimiliki atau tidak diproduksi oleh Amerika," jelasnya.
Lihat Juga : |
Terkait dampak tarif terhadap kinerja ekspor, Budi menyebut target peningkatan ekspor sebesar 7,1 persen tahun ini tetap dipertahankan, meski kondisi pasar AS masih menjadi perhatian.
"Memang ya, kita ini surplus sebelum diberlakukan resiprokal. Nah kita juga harus kita antisipasi pasar Amerika seperti apa," katanya.
Ia menilai tarif resiprokal sebesar 19 persen yang diterima Indonesia termasuk yang paling rendah di kawasan ASEAN, kecuali Singapura yang berhasil mendapat tarif hanya 10 persen. Oleh karena itu, posisi Indonesia dinilai masih cukup kompetitif di pasar AS.
"Kalau kita lihat kita ini dapat tarif resiprokal 19 persen. Artinya ini tarif yang cukup bagus atau tarif yang kecil di negara-negara Asean, termasuk beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand," jelasnya.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa skema tarif saat ini tidak lagi memberikan level persaingan yang setara seperti masa sebelumnya saat seluruh negara dikenakan tarif Most Favored Nation (MFN) yang seragam.
"Ketika kita mau memulai ekspor kita itu tidak mulai dari start-nya, tidak mulai dari nol lagi. Kenapa? Kalau dulu kita itu bersaing dengan negara lain pada level yang sama yaitu pada level tarif MFN. Nah sekarang kan berbeda-beda, ada yang tarif rendah, ada yang tarif tinggi," paparnya.
Budi juga memberikan ilustrasi terkait negara-negara pesaing Indonesia di pasar ekspor Amerika seperti China, Vietnam, dan India yang saat ini dikenakan tarif lebih tinggi. Hal ini membuka peluang bagi produk ekspor RI untuk tetap bersaing.
"Misalnya begini, dulu kita bersaing dengan China, Vietnam, India. Tetapi mereka bertiga tarifnya juga lebih tinggi," ucapnya.
Meski demikian, menurutnya, kondisi pasar AS tetap menjadi faktor penentu. Jika permintaan dari pasar tetap tinggi, maka peluang ekspor Indonesia akan tetap terbuka lebar.
"Artinya kalau pasar ke Amerika tetap bergairah, tetap bagus berarti kesempatan kita akan semakin besar. Karena kita mendapat tarif yang lebih bagus dibanding negara lain," katanya.
Saat ini, Budi menyebut pihaknya tengah menganalisis 10 produk utama ekspor RI dan tarif yang dikenakan terhadap pesaing dari negara lain. Berdasarkan pengamatan awal, Indonesia masih berada dalam posisi kompetitif.
"Jadi upaya terus kita lakukan dan kita juga sudah mulai mengintip dari 10 produk ekspor kita, produk utama kita, siapa pesaingnya. Pesaing dari 10 produk itu berapa dapat tarif resiprokal. Dan kita pikir, saya pikir kita masih kompetitif dengan tarif-tarif yang diberikan kepada negara-negara pesaing kita," jelas dia lebih lanjut.
(del/agt)