Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah segera menggelontorkan stimulus ekonomi untuk mengantisipasi dampak tarif baru Amerika Serikat (AS) terhadap produk Tanah Air.
Barang-barang asal Indonesia berpotensi dipungut tarif 19 persen saat masuk AS. Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyebut pelaku usaha saat ini menghadapi tekanan berat, baik dari dalam negeri maupun global.
Menurutnya, kondisi daya beli masyarakat yang melemah sejak Ramadan hingga kuartal pertengahan 2025 dan indeks PMI manufaktur yang berada di bawah 50, menjadi sinyal dunia usaha perlu segera diperkuat dengan kebijakan konkret.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tarif Trump ini terus terang menimbulkan banyak ketidakjelasan dan ketidakpastian. Oleh karenanya, kami meminta pemerintah mengeluarkan stimulus terukur dan berdampak langsung pada kelangsungan industri," kata Shinta dalam konferensi pers di Kantor Pusat Apindo, Jakarta Selatan, Selasa (29/7).
Shinta menegaskan walaupun pemerintah telah melakukan sosialisasi terkait kebijakan dagang AS, proses negosiasi teknis terkait tarif tersebut sejauh ini belum rampung.
"Kita harus clear ya, ini semua masih dalam proses. Jadi negosiasi secara teknis belum selesai dan targetnya bukan 1 Agustus untuk Indonesia, karena Indonesia sudah mencapai satu framework dan negosiasinya akan terus berlanjut," ujarnya.
Selama negosiasi belum selesai, kata Shinta, tarif resiprokal yang berlaku baru sebesar 10 persen. Menurutnya, hal ini memberi ruang bagi Indonesia untuk memperpanjang proses perundingan demi mendapatkan hasil yang lebih menguntungkan.
"Dengan kata lain, kita mau berlama-lama negosiasi enggak apa-apa juga karena yang kita dapatkan hanya 10 persen dan belum ada kondisi-kondisi tambahan yang harus kita siapkan," lanjutnya.
Ia mengatakan dibandingkan bea masuk 32 persen, tarif 19 persen tentu lebih ringan. Namun, Indonesia tetap perlu membandingkannya dengan tarif yang diberikan AS ke negara-negara pesaing Indonesia. Oleh karena itu, insentif fiskal dan kemudahan berusaha sangat dibutuhkan untuk menjaga daya saing ekspor nasional.
"Kami sudah mengusulkan beberapa hal, termasuk pembebasan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk jasa subkontraktor dan barang baku tertentu, penghapusan bea masuk komoditas tertentu, serta perluasan PPh 21 yang ditanggung pemerintah," ujar Shinta.
Ia menambahkan usulan-usulan tersebut sudah disampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto yang baru saja menjabat.
Shinta juga meminta stimulus tambahan untuk menurunkan biaya produksi dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk subsidi iuran BPJS Kesehatan bagi sektor terdampak, diskon listrik dan gas industri, serta dukungan untuk energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dengan skema net metering.
"Stimulus ini penting bukan hanya untuk menjaga kapasitas produksi, tapi juga untuk menciptakan lapangan kerja baru," kata Shinta.
Ia menyebut sepanjang semester I-2025, realisasi investasi di Indonesia mencapai Rp942,9 triliun dan menciptakan 1,25 juta lapangan kerja. Namun, angka ini masih belum memadai mengingat kebutuhan penciptaan 2-3 juta pekerjaan per tahun.
Shinta juga mengingatkan peluang relokasi investasi dari AS ke Indonesia bisa terbuka lebar jika tarif yang dikenakan kompetitif.
"Investasi akan tetap ada, terutama kalau kita bisa berkompetisi dari sisi tarif dengan negara-negara sekitar Amerika," katanya.
Apindo saat ini terus mengonsolidasikan pelaku ekspor lintas sektor guna mengidentifikasi dampak dan potensi dari kesepakatan dagang dengan AS.
Shinta juga mendorong deregulasi dan penyederhanaan izin usaha agar ekspor Indonesia tidak hanya tergantung pada insentif tarif, tetapi juga didukung oleh efisiensi biaya dan kepastian hukum di dalam negeri.
"Daya saing ekspor dan investasi tidak cukup hanya disokong oleh tarif. Harus ditopang juga dengan efisiensi logistik, biaya energi, regulasi yang ramah industri, dan reformasi struktural," jelas dia lebih lanjut.
(del/pta)