Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan uang Rp1,15 triliun terkait tindak pidana setelah memblokir 31 juta rekening dormant.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan salah satu alasan pihaknya memblokir rekening dormant adalah untuk menemukan rekening-rekening yang memang digunakan untuk transaksi ilegal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada tindak pidana korupsi, perjudian, penipuan, pencucian uang, narkotika, perpajakan, terorisme, cukai, lingkungan hidup, dan lainnya, itu ada 1.155 rekening dengan nilai Rp1,15 triliun," ujar Ivan di Kantor PPATK, Jakarta, Rabu (6/8).
Berdasarkan data temuan PPATK, paling banyak diduga terkait tindak pidana adalah perjudian dengan total 517 rekening. Kemudian, korupsi sebanyak 280 rekening dan kejahatan siber 96 rekening.
Lihat Juga : |
Selain itu, ada beberapa tindak pidana yang ditemukan di rekening dormant yaitu penggelapan, penipuan, tindak pidana pencucian uang (TPPU), narkotika, penipuan dan penggelapan perpajakan, dan terorisme.
Ada pula kejahatan di bidang perbankan, cukai, penyuapan, ITE, lingkungan hidup, dan perdagangan orang.Selain itu, PPATK menemukan mayoritas rekening dormant yang terindikasi tindak pidana sudah lama tidak digunakan.
"Kita melakukan kajian, ini tersebar pada banyak bank dan mayoritas rekening dormant satu-lima tahun terindikasi pidana," jelasnya.
PPATK juga menemukan banyak uang bantuan sosial (bansos) tidak digunakan oleh penerima selama bertahun-tahun. Ivan menilai hal ini rawan disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab.
Lembaga itu mencatat potensi total dana bansos pada rekening dormant yang belum tersalurkan Rp2,1 triliun. Duit itu tersebar di 10.416.162 rekening.
Untuk rekening dormant bansos paling banyak itu di atas lima tahun, jumlahnya mencapai 6 juta rekening dengan saldo Rp1,3 triliun.
"Besok siang saya ketemu sama Pak Mensos. Yang namanya bansos kan harusnya fast money ya, masuk langsung pakai, masuk langsung pakai. Ketika dia mengendap, kita berkesimpulan bahwa orang ini tidak eligible sebagai penerima bansos sehingga harus ada kebijakan terkait hal ini," pungkas Ivan.
(ldy/dhf)