Ekonom Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) mengatakan ekonomi RI yang tumbuh 5,12 persen pada kuartal II 2025 ditopang oleh sektor informal.
Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari mengatakan sektor informal menyumbang 55 persen konsumsi dan 60 persen lapangan kerja.
"Sektor informal adalah orang-orang yang berkaitan dengan aktivitas agrikultur atau berkaitan dengan perusahaan kecil, sebagianya perusahaan yang tidak diregistrasi. Mereka mencapai sekitar 60 pekerjaan, dan 55 persen konsumsi," katanya dalam media briefing HSBC: Indonesia Economy Outlook H2-2025 secara daring, Jumat (8/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, sektor formal menyumbang 45 persen konsumsi dan 40 persen lapangan kerja.
"Apa yang kita lihat di tahun 2025 adalah bahwa meskipun sektor formal tidak berjalan lebih baik dari sebelumnya, sektor informal telah mulai berjalan jauh lebih baik," kata Pranjul.
Ia mengatakan saat ini indikator pembangunan sektor formal melemah, misalnya penjualan mobil, penjualan rumah. Namun, indikator sektor informal terlihat lebih kuat.
"Contohnya belanja makanan, minuman, pakaian, peralatan, dan semua produk energi, semua kebutuhan itu menunjukkan peningkatan," katanya.
Pranjul mengatakan sektor informal menjadi lebih baik pada 2025 karena inflasi yang turun sehingga meningkatkan daya beli, terutama bagi masyarakat yang sensitif dengan harga. Inflasi yang turun terutama didorong oleh harga pangan yang melandai dibanding tahun lalu di mana terjadi fenomena El Nino dan La Nina.
"Ada banyak pertanyaan apakah kita benar-benar melihat ekonomi Indonesia berkembang? Dan jawabannya adalah ya, jika kita melihat dengan dekat dan kita melihat sektor informal itu telah meningkat dibandingkan tahun lalu," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen secara tahunan atau year on year (yoy) pada kuartal II 2025.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud melaporkan ekonomi RI berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) kuartal II 2025 atas dasar harga berlaku adalah Rp5.947 triliun. Sedangkan PDB atas dasar harga konstan senilai Rp3.396,3 triliun
"Sehingga pertumbuhan Indonesia pada kuartal II 2025 bila dibandingkan dengan kuartal II 2024 atau secara yoy tumbuh sebesar 5,12 persen," ucap Edy dalam Konferensi Pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (5/8).
"Bila dibandingkan dengan kuartal I 2025 atau secara quarter to quarter (qtq) tumbuh sebesar 4,04 persen," imbuhnya.
Namun, data tersebut diragukan karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Keraguan tersebut salah satunya datang dari ekonom.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira misalnya mengatakan ada kejanggalan dari data penopang perekonomian yang disampaikan oleh BPS. Kejanggalan salah satunya terkait kinerja industri pengolahan.
"Pertumbuhan ekonomi BPS tidak mencerminkan kondisi riil ekonomi. Ada beberapa data yang janggal, salah satunya soal pertumbuhan industri pengolahan," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Bhima, untuk kinerja industri pengolahan ada selisih yang besar antara data yang disampaikan oleh BPS dan PMI Manufaktur Indonesia.
Berdasarkan data BPS, menurut lapangan usaha, industri pengolahan yang kontribusinya 18,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mampu tumbuh 5,68 persen. Hal ini dinilai berbeda dengan kinerja PMI Manufaktur yang turun kian dalam dari level 47,4 menjadi 46,9 per akhir Juni 2025.
Bhima menekankan, data yang kontraksi tersebut bahkan juga tercermin dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terjadi di sektor padat karya. Penciptaan lapangan kerja juga tidak tumbuh sehingga ia sangat meragukan data yang disampaikan.
"Jadi penjelasannya apa? bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, penjualan semen turun, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi tapi industri tumbuh tinggi, kan aneh," jelas Bhima.
(fby/pta)