Mentan Ungkap Biang Kerok Banyak Penggilingan Padi Kecil Gulung Tikar

CNN Indonesia
Sabtu, 16 Agu 2025 11:20 WIB
Mentan Andi Amran Sulaiman mengungkap biang kerok di balik banyaknya pabrik penggilingan padi kecil gulung tikar.
Mentan Andi Amran Sulaiman mengungkap biang kerok di balik banyaknya pabrik penggilingan padi kecil gulung tikar. (CNN Indonesia/Khaira Ummah)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkap alasan di balik banyaknya pabrik penggilingan padi kecil gulung tikar.

Ia mengatakan kondisi tersebut bukan fenomena baru, melainkan sudah terjadi sejak lama akibat ketidakseimbangan kapasitas giling dan produksi padi nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Amran menjelaskan saat ini terdapat tiga jenis penggilingan padi, yakni kecil, menengah, dan besar. Jumlah penggilingan kecil mencapai 161 ribu unit dengan kapasitas giling sekitar 116 juta ton per tahun.

Sementara itu, penggilingan menengah ada 7.300 unit dan penggilingan besar 1.065 unit.

Masalahnya, produksi padi nasional hanya sekitar 65 juta ton per tahun, jauh di bawah kapasitas giling yang tersedia.

"Kalau kapasitas 116 juta, kemudian produksi padi Indonesia hanya 65 juta ton. Idle (menganggur) enggak?" ujarnya di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta Selatan, Jumat (15/8).

[Gambas:Video CNN]

Ia menambahkan, masuknya perusahaan besar sejak 15-20 tahun lalu juga membuat posisi penggilingan kecil makin tertekan.

"Kapasitasnya kurang lebih 30 (juta ton), mendingan dengan besar itu 50 juta ton. Pertanyaanku, terganggu enggak yang kecil? Sudah, selesai jawabannya. Clear kan? Artinya, bahwasannya pabrik kecil tutup, itu sudah lama terjadi," ujarnya.

Menurut Amran, persoalan ini makin terasa karena produksi padi tidak merata sepanjang tahun. Dari Januari hingga Juni 2025, sekitar 70 persen produksi padi sudah digiling, yakni sekitar 42 juta ton.

Sisanya hanya 23 juta ton, sedangkan kapasitas giling seluruhnya mencapai 165 juta ton.

"Itu yang mau kapasitas giling terpasang adalah 165 juta besar, kecil, sedang. Pasti ada yang tidak kebagian kan? Yang besar harusnya tidak masuk mengganggu yang kecil," tuturnya.

"Karena yang kecil kalau dia beli Rp6.500, dia membeli Rp6.700, yang besar. Kalau dia naik Rp6.700, mereka beli Rp7.000. Artinya yang kecil, ekonomi kecil terganggu," jelasnya.

Namun, ia menilai masih ada peluang perbaikan pasar. Amran mencontohkan pengurangan pasokan beras premium di supermarket modern justru meningkatkan penjualan di pasar tradisional, sehingga penggilingan kecil kembali mendapat suplai.

"Alhamdulillah kalau dia kurangi, itu adalah berkah bagi penggilingan kecil dan pasar tradisional. Iya kan? Logikanya," katanya.

Amran juga menanggapi isu 40 persen penggilingan kecil yang tidak beroperasi. Menurutnya, kondisi itu wajar mengingat perbedaan kapasitas dan harga di pasar. Ia menyoroti praktik penjualan beras dengan harga jauh di atas seharusnya.

"Setelah itu diperparah lagi dengan harga kualitas yang tidak benar. Itu mengangkat harga. Karena harusnya harganya Rp12 ribu, dijual Rp17 ribu. Dan itu sudah berapa tersangka? Banyak tersangka kan? Paham? Kalau selisih Rp5.000 kali 1 juta ton, itu sama dengan nilainya Rp5 triliun. Rp5 triliun itu korbannya adalah konsumen. Dirugi konsumen," ucapnya.

"Jadi jangan lagi menulis bahwa ini tutup, ini tutup, ini tutup. Ya, ini kondisi dari dulu terjadi. Kami akan perbaiki. Kenapa kami berani perbaiki? Karena ada perintah langsung Bapak Presiden," tutur dia lebih lanjut.

Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengakui sekitar 40 persen pabrik penggilingan padi tutup setelah aparat menindak kasus beras oplosan.

Data itu, kata dia, merujuk temuan Ombudsman RI di Karawang, Jawa Barat, di mana 10 dari 23 penggilingan berhenti beroperasi.

Sutarto menjelaskan pengusaha terbebani kenaikan harga pokok produksi (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kg, sementara harga eceran tertinggi (HET) beras tetap Rp12.500 per kg. Kondisi itu membuat banyak penggilingan sulit menutup biaya produksi.

Situasi diperparah dengan keterlambatan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) serta maraknya penindakan hukum. Sutarto menilai penggilingan kecil paling rentan berhenti beroperasi, meski pengusaha besar juga mulai kesulitan bahan baku.

(del/chri)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER