Pengusaha Akui 40 Persen Penggilingan Padi Tutup: Takut Langgar Hukum

CNN Indonesia
Senin, 11 Agu 2025 13:35 WIB
Sekitar 40 persen penggilingan padi di Tempuran, Karawang, Jawa Barat berhenti produksi beras karena pengusaha takut terseret kasus beras oplosan.
Sekitar 40 persen penggilingan padi di Tempuran, Karawang, Jawa Barat berhenti produksi beras karena pengusaha takut terseret kasus beras oplosan. (ANTARA FOTO/ASEP FATHULRAHMAN).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengakui sekitar 40 persen pabrik penggilingan padi tutup usai penegakan hukum dilakukan dalam kasus beras oplosan.

Sutarto menyebut data itu merujuk temuan Ombudsman RI di Tempuran, Karawang, Jawa Barat, yakni 10 dari 23 penggilingan berhenti beroperasi. Walau tidak memiliki data pasti secara nasional, ia mengatakan laporan serupa juga datang dari daerah lain, seperti Yogyakarta dan Jawa Timur.

"Empat puluh persen persen kan kira-kira. Apakah itu bisa menggambarkan seluruh Indonesia? Ya saya enggak bisa mengatakan kalau tidak ada survei, tapi kalau penampakan di Karawang bisa saja terjadi di banyak tempat," kata Sutarto kepada CNNIndonesia.com, Senin (11/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan sebenarnya para pengusaha terbebani dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga pokok produksi (HPP) gabah ke Rp6.500 per kg. Pemerintah menetapkan harga itu untuk semua jenis gabah.

Pada saat bersamaan, pemerintah tidak menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras. Padahal, modal yang dikeluarkan para pengusaha penggilingan meningkat karena kenaikan HPP.

Dengan HET tetap di Rp12.500 per kg, pengusaha yang membeli gabah di atas Rp6.500 per kg sudah kesulitan menutup biaya produksi.

Sutarto mengatakan situasi ini ditambah aksi penindakan oleh aparat penegak hukum dalam kasus beras oplosan. Hal ini membuat sejumlah pengusaha menutup penggilingan sementara.

"Teman-teman (penggilingan padi) ya berat untuk memproduksi, dia takut melanggar. Apalagi sekarang sedang gencar-gencarnya petugas keamanan ke lapangan," ucapnya. 

Penutupan pabrik ini, kata Sutarto, umumnya bersifat sementara. Pengusaha berharap harga gabah bisa turun sehingga produksi kembali sesuai HET dan risiko pelanggaran hukum berkurang.

Gejala penutupan sudah terlihat sejak Juni 2025, ketika harga gabah mulai naik tajam. Menurutnya, keterlambatan pelaksanaan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) turut memperparah kondisi.

Perpadi, lanjut Sutarto, telah menyampaikan kondisi di lapangan dan usulan solusi kepada sejumlah kementerian dan lembaga, termasuk Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Badan Pangan Nasional (Bapanas), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), DPR RI, hingga Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan.

Ia menambahkan penggilingan kecil paling rentan berhenti operasi, meski beberapa pengusaha besar juga mulai kesulitan bahan baku.

"Yang besar belum kelihatan ya (menutup usaha), mungkin mengurangi. Yang biasa kalah kan yang kecil," katanya.

Sebelumnya, beras medium dan premium lenyap dari rak-rak ritel. Kejadian ini muncul setelah Satgas Pangan Polri menindak produsen-produsen yang mengoplos kualitas beras.

Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Moga Simatupang menegaskan pemerintah tak pernah meminta produsen menarik beras diduga oplosan. Pemerintah hanya meminta produsen menurunkan harga sesuai kulitas.

Ia mengatakan pemerintah sebenarnya memutuskan penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) ke ritel modern sejak 17 Juli hingga 31 Desember 2025. Akan tetapi, distribusinya belum optimal.

"Sejauh ini memang untuk ritel modern, berasnya berdasarkan laporan kemarin dari Aprindo, baru 540 ton yang masuk. Dan kita harapkan dalam waktu dekat ini pasokan SPHP akan segera disalurkan ke ritel modern," ujar Moga di Kemendag, Jakarta Pusat, Rabu (6/8).

[Gambas:Video CNN]

(del/dhf)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER