Ancaman PHK Mengintai Karyawan Pabrik Keramik
Sejumlah pekerja di industri keramik terancam mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Ancaman ini merupakan dampak dari kebijakan pembatasan pemakaian gas harian dengan harga tertentu (HGBT) mulai 13 Agustus sampai dengan 31 Agustus 2025 yang dilaksanakan pemerintah.
Dengan kebijakan ini, industri hanya diperbolehkan memanfaatkan volume gas HGBT sebanyak 48 persen. Sedangkan 52 persen sisanya dikenakan surcharge 120 persen dari harga US$14,8usd/mmbtu setara $17,8usd/mmbtu.
Mengutip CNBCIndonesia, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki) Edy Suyanto mengatakan pembatasan itu mengakibatkan dampak negatif bagi industri keramik.
Pasalnya, pembatasan akan membuat mereka mengeluarkan biaya produksi lebih besar agar tetap beroperasi.
Ia mengatakan beberapa industri sudah merasakan dampak keras akibat kebijakan pembatasan HGBT tersebut. Beberapa di antara mereka sudah merumahkan ratusan pekerjanya.
"Yang paling baru aja ada dua industri Tableware di Tangerang terpaksa merumahkan sekitar 700 karyawannya. Ini ya karena pembatasan kuota pemanfaatan HGBT dan ketika masuk ke surcharge Gas regasifikasi LNG harganya mahal," katanya, Selasa (19/8) kemarin.
Asaki sangat menyayangkan kondisi gangguan supply Gas yang telah berlarut-larut dengan tanpa ada solusi atau perbaikan pasokan gas telah memakan korban,
"Pemerintah perlu cari solusi segera berkaitan gangguan supply gas, supaya tidak semakin banyak industri yang merumahkan karyawan, kita khawatir nantinya bisa lebih dari itu, ada potensi PHK," sebut Edy.
Sebelumnya Kemenperin menyebut gas bumi memiliki peran vital, baik sebagai bahan baku maupun sumber energi dalam proses produksi. Industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet termasuk di antara penerima manfaat program HGBT yang selama ini ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden dengan harga sekitar USD 6,5 per MMBTU.
"Ini yang mengherankan. Pasokan gas harga di atas US$15-US$17 lancar. Tapi, pasokan gas US$6,5 tidak lancar. Jika terjadi pengetatan, harga melonjak hingga US$1517 per MMBTU. Ini kan aneh. Mesin-mesin produksi bisa terpaksa dihentikan, dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar," jelas Jubir Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief.
Pembatasan HGBT katanya, tidak hanya mengancam kelangsungan produksi, tetapi juga berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan hingga penutupan usaha dan PHK pekerja industri.
"Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan," tegasnya.
(agt)