BBM Pesawat dari Jelantah Resmi Dipakai untuk Penerbangan Jakarta-Bali
Bahan bakar pesawat dari olahan minyak goreng bekas atau yang jelantah (Used Cooking Oil - UCO) resmi dipakai untuk penerbangan perdana yang dilakukan maskapai Pelita Air rute Jakarta-Bali.
Jelantah yang sudah diolah oleh PT Pertamina (persero) ini dilabeli Sustainable Aviation Fuel (SAF). BBM ini diklaim menghasilkan energi bersih, memangkas emisi karbon, serta ramah lingkungan.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menegaskan dukungan pemerintah terhadap langkah ini yang sejalan dengan program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
"Ini adalah program Pak Presiden, Asta Cita harus terus kita laksanakan. Ketahanan energi, dan untuk yang ini tidak hanya ketahanan energinya, tapi juga swasembadanya. Jadi kemandiriannya juga semakin kuat," ujar Dadan di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, melalui keterangan tertulis, Rabu (20/8).
Pertamina menyatakan SAF berbahan baku UCO ini mampu memangkas emisi karbon hingga 84 persen dibandingkan avtur fosil. Hal ini menjadi salah satu daya tarik utama dari inovasi yang dikembangkan di Kilang RU IV Cilacap.
Bahan bakar ini diklaim menawarkan peluang konkret bagi industri penerbangan untuk menurunkan jejak karbonnya tanpa mengorbankan standar keselamatan dan performa.
Secara teknis, bioavtur yang diproduksi di RU IV Cilacap telah memenuhi standar kualitas nasional melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 70 Tahun 2025, serta standar internasional ASTM D1655 dan Defstan 91-091, syarat penting agar bahan bakar tersebut dapat dipakai aman pada pesawat terbang.
Untuk memastikan pasokan bahan baku yang stabil, Pertamina merangkul masyarakat lewat program pengumpulan minyak jelantah. Saat ini 35 titik pengumpulan telah didirikan di lokasi-lokasi strategis.
Momentum ini katanya menegaskan bahwa transisi energi bersih di Indonesia bukan sekadar wacana.
Ia mengklaim sudah ada rangkaian langkah praktis yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkannya. Langkah mulai dari pemanfaatan potensi bioenergi, integrasi teknologi kilang, dan partisipasi masyarakat dalam pasokan.
Kendati begitu, ia mengakui masih ada pekerjaan rumah yang dikerjakan pemerintah. Hal ini terkait pengembangan bioetanol dan penguatan kerja sama lintas lembaga.
"Pertamina bersama seluruh stakeholders sudah membuktikan kita ini raja untuk biodiesel di dunia. Tidak ada yang mengalahkan untuk yang ini. Tapi kita masih punya tantangan untuk yang bioetanol. Banyak pekerjaan sudah dilakukan, memang kami mengajak bahwa tidak bisa hanya sektor hilir yang bertanggung jawab," tutur Dadan.
Pengembangan SAF ini telah dilakukan sejak 2021 dengan kolaborasi Pertamina dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan telah menghasilkan bahan bakar dengan campuran bioavtur hingga 2,4 persen (J2,4) melalui mekanisme coprocessing di TDHT 1 RU IV Cilacap.
Uji coba pertama dilakukan pada Oktober 2021 menggunakan pesawat teregistrasi militer Dirgantara Indonesia, CN235-200 FTB, rute Bandung-Jakarta.
Dua tahun kemudian, pada Oktober 2023, pengujian dilanjutkan untuk pesawat komersial dengan uji terbang Boeing 737-800 milik Garuda rute Jakarta-Solo-Jakarta, sebuah rangkaian yang memperkuat bukti kesiapan penggunaan bahan bakar hijau pada armada pesawat.
(ldy/agt)