Pengamat menyarankan agar pemerintah fokus pada target mudah jika serius dengan capaian EBT. Salah satu bentuknya adalah melonggarkan aturan terkait pemasangan listrik surya atap (PLTS).
Dalam The Big Idea Forum CNN Indonesia Juli lalu yang mempertemukan perwakilan pengusaha, pemerintah (yang diwakili Kementerian Perindustrian) dan lembaga riset, terungkap bahwa banyak pelaku industri sebenarnya berminat memenuhi kapasitas listriknya dengan sel surya.
Namun aturan PLN membatasi stok listrik dari sumber matahari dipasang maksimal 15% dari kapasitas total. PLN diduga khawatir kelebihan pasokan jadi beban, sementara sudah ada kontrak listrik yang dibayar meskipun listrik tersebut tidak terserap jaringan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PLTS dinilai sebagai peluang terbaik menggenjot produksi EBT karena teknologinya relatif dikenal dan sederhana, biaya pemasangan bisa dijangkau lapisan masyarakat dan industri, serta pasokan sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun di Indonesia.
![]() |
Studi SystemiqEarth terkait upaya percepatan transisi energi di ASEAN menunjukkan skenario pembebasan PLTS adalah kunci untuk mengejar produksi EBT Indonesia.
Potensi PLTS atap nasional diperkirakan mencapai 32,5 GW bersumber dari pelanggan rumah tangga (sekitar 40-50% potensi dihitung dari luas atap dan konsumsi), industri (30-40%, terutama kawasan industri seperti nikel di Sulawesi), bisnis, sosial, dan pemerintah. Namun, realisasi hingga akhir 2022 baru mencapai sekitar 80 MWp.
Pemberian legalitas massal untuk PLTS (dengan penyederhanaan izin, penghapusan kuota, dan insentif seperti hibah dana EBT dari mancanegara) diperkirakan akan memicu penambahan produksi hingga 4-5 GW per tahun. Ini mirip dengan skenario Vietnam yang menambah 4,45 GW dalam satu tahun melalui Feed-in-Tariff.
Tahun ini Vietnam diperkirakan sudah mencapai 44% bauran energinya dari EBT, 13% diantaranya dari sumber solar dan angin saja.
Dalam pidato terkait Nota Keuangan RAPBN 2026 lalu, Presiden Prabowo mengatakan mengalokasikan Rp402,4 triliun untuk ketahanan energi, mendukung transisi energi bersih serta untuk subsidi bagi pengembangan EBT dan listrik desa.
Lebih dari sekedar menyebut angka sebagai target, pemerintah harus membuktikan apakah ketersediaan dana itu dapat diimbangi dengan strategi percepatan transisi yang tepat agar Indonesia tak kembali terpuruk mengejar ambisi EBT-nya.
Kalau benar berkaca pada kinerja pencapaian target EBT delapan tahun terakhir, nampak bahwa kenaikan produksi rata-rata hanya 1-2% per tahun. Artinya menambah capaian target lebih dari 80% dalam 10 tahun ke depan akan sangat sulit dilakukan, kalau tak mau dibilang mustahil.
(sur)