Pemerintah Indonesia berencana untuk menambah kepemilikan saham sebesar 10 persen atau lebih di PT Freeport Indonesia (PTFI). Langkah ini bagian dari negosiasi perpanjangan kontrak tambang Freeport hingga 2061.
Rencana tambah saham ini sudah direncanakan sejak pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo. Meski saat ini, pemerintah sudah menjadi pemegang saham utama PT Freeport Indonesia dengan kepemilikan saham 51 persen.
"Yang jelas, negosiasi awal waktu kami lakukan itu 10 persen. Tapi ini ada potensinya di atas 10 persen," ujar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat ditemui di Kantornya, Rabu (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahlil menyebut akan langsung memanggil Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas ke kantornya untuk membahas mengenai divestasi saham tersebut.
"Ini negosiasi, saya sebentar sore akan ketemu dengan manajemen Freeport," jelas Bahlil.
Namun, apakah langkah ini menguntungkan atau justru merugikan bagi Indonesia?
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai rencana tersebut tidak sederhana. Ia menekankan bahwa perpanjangan kontrak jangka panjang hingga 2061 penuh dengan ketidakpastian yang sulit diprediksi sejak sekarang.
Menurut Fahmy, waktu 10 hingga 30 tahun ke depan adalah hal yang sangat tidak pasti. Kondisi geopolitik, iklim investasi global, hingga perkembangan teknologi pertambangan bisa berubah drastis.
"Waktu 10 tahun ke belakang saja banyak hal yang tidak bisa kita prediksi. Apalagi sampai 2061. Itu barangkali harus jadi pertimbangan serius sebelum memutuskan perpanjangan kontrak," jelasnya.
Lihat Juga : |
Ia menambahkan, penambahan saham 10 persen tanpa embel-embel perpanjangan kontrak masih bisa dipertimbangkan. Namun jika syaratnya adalah memperpanjang kontrak hingga 2061, maka menurutnya hal tersebut lebih baik ditolak.
Fahmy juga menyinggung soal regulasi. Menurutnya, tidak ada aturan dalam undang-undang yang secara eksplisit mengatur penambahan saham 10 persen Freeport bagi pemerintah. Yang diatur jelas dalam UU Minerba adalah kewajiban hilirisasi, bukan kepemilikan tambahan saham.
"Kalau memang penambahan itu dibutuhkan, seharusnya dibicarakan di kemudian hari, misalnya pada 2040. Jadi tidak perlu dipaksakan sekarang. Kalau memang harus dilakukan sekarang, artinya undang-undangnya harus diubah," paparnya.
Lebih jauh, Fahmy mengingatkan soal posisi kendali. Meski Indonesia saat ini sudah memiliki 51 persen saham Freeport melalui holding BUMN pertambangan MIND ID, pengendali utama masih dipegang oleh Freeport-McMoRan, induk usaha asal Amerika Serikat.
"Yang memutuskan hal-hal strategis tetap McMoRan. Misalnya, jika McMoRan memutuskan mengekspor konsentrat dengan alasan smelter terbakar, maka keputusan itu yang berlaku. Padahal itu jelas merugikan Indonesia karena nilai tambahnya dinikmati negara lain," kata Fahmy.
Menurutnya, jika negosiasi perpanjangan kontrak tetap berjalan, pemerintah Indonesia harus memastikan posisi saham pengendali benar-benar beralih ke MIND ID.
"Itu harga mati. Kalau tidak, maka keputusan strategis akan tetap ditentukan pihak asing, dan kita hanya akan menanggung kerugian jangka panjang."
Secara finansial, tambahan 10 persen saham Freeport dinilai hanya akan memberi tambahan dividen bagi negara. Hal ini berkaca pada beberapa tahun ke belakang setelah pemerintah memiliki saham 51 persen.
Namun, Fahmy memperkirakan keuntungan itu tidak akan signifikan. Pasalnya, Freeport kini sudah memasuki fase penambangan bawah tanah (undermining) setelah cadangan tambang terbuka (open pit) habis.
"Undermining itu butuh teknologi canggih dan biaya besar. Biaya investasi maupun operasional itu pasti akan mengurangi laba. Kalau laba turun, dividen juga menurun. Jadi, tambahan 10 persen saham tidak menjamin keuntungan besar," jelasnya.
Secara keseluruhan Fahmy melihat penambahan saham Freeport sebesar 10 persen dengan syarat perpanjangan kontrak hingga 2061 lebih banyak mendatangkan risiko ketimbang manfaat.
"Kalau memang negosiasi tetap dilakukan, pemerintah harus memastikan syarat utama: kendali saham dipegang MIND ID, bukan McMoRan. Kalau itu tidak bisa, lebih baik kontrak tidak diperpanjang. Kalau hanya tambahan 10 persen, itu sama saja kita hanya dapat tambahan dividen yang tidak signifikan," tegas Fahmy.
Bersambung ke halaman berikutnya..