Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor membagikan kisah menarik saat berdiskusi dengan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Haikal Hasan alias Babe Haikal soal status halal-haram rokok di Indonesia.
Ia menilai persoalan rokok bukan sekadar urusan agama atau kesehatan, tetapi juga menyangkut kepentingan politik dan ekonomi yang rumit.
"Kami pernah diskusi sedikit dengan Babe Haikal, saya bilang, berani enggak menghalalkan rokok? Dijawabnya, 'wauw wauw'. Terus saya tanya lagi, berani enggak mengharamkan rokok? Dijawabnya juga, 'wauw wauw'. Artinya ya sama aja," kata Afriansyah dalam forum diskusi publik di Menara Kadin Indonesia, Jakarta Selatan, Selasa (21/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Afriansyah sempat menjabat sebagai wakil kepala BPJPH sebelum kembali diangkat menjadi wamenaker di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ia mengaku perpindahan tugas itu tak lepas dari arahan langsung Prabowo, mengingat isu halal-haram rokok juga bersinggungan dengan nasib jutaan pekerja di industri hasil tembakau (IHT).
Ia menjelaskan industri rokok telah menjadi bagian dari sejarah panjang ekonomi Indonesia.
"Petani tembakau sudah hidup di republik ini sejak lama, bahkan sejak masa VOC yang datang untuk urusan jual-beli tembakau dan cengkeh," ujarnya.
Namun, menurutnya, industri rokok kini menghadapi masa sulit akibat perubahan tren dan kebijakan global.
Afriansyah menyebut sejumlah perusahaan besar seperti Philip Morris dan Gudang Garam sudah mulai mengalihkan sebagian bisnisnya ke sektor lain, seiring dengan meningkatnya regulasi dan pergeseran ke produk rokok elektrik.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu memastikan agar pekerja di industri padat karya seperti rokok tidak menjadi korban dari transisi tersebut.
"Pengusaha sudah kaya raya, aset mereka banyak. Tapi yang sedang dipikirkan presiden adalah bagaimana jangan sampai rakyat rugi sebanyak-banyaknya. Pemerintah harus tegas," ujarnya.
Afriansyah juga mengaku memahami pandangan kalangan medis yang mengaitkan rokok dengan dampak kesehatan.
Ia menyebut telah berdiskusi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengenai perokok pasif dan perlunya perlindungan bagi masyarakat nonperokok, namun tetap meminta agar petani tembakau dan pekerja industri tidak dirugikan.
"Saya bukan anti rokok karena saya juga perokok. Tapi bukan berarti mengabaikan teman-teman yang tidak merokok. Yang perlu diatur adalah bagaimana petani tidak dirugikan dan pekerja industri rokok tidak terabaikan," tutur Afriansyah.
Adapun di Indonesia, status halal-haram rokok hingga kini belum memiliki ketetapan resmi dari lembaga keagamaan negara.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum mengeluarkan fatwa tunggal yang bersifat mengikat secara nasional, sehingga perdebatan masih terus muncul, terutama ketika isu kesehatan publik dan kebijakan cukai diperbincangkan.
(del/sfr)