ANALISIS

Pembelian Rumah Lesu Meski Kebutuhan Hunian Masih Tinggi, Kok Bisa?

Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Jumat, 07 Nov 2025 07:25 WIB
Lesunya permintaan rumah mencerminkan ekosistem yang tidak solid, mulai dari pembiayaan hingga regulasi sehingga program perumahan rakyat tersendat.
Insentif Saja Cukup, Reformasi! (Foto: ANTARA FOTO/Putra M. Akbar)

Pernyataan Joni ini sejalan dengan pandangan Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita. Ia menilai komentar Purbaya menggambarkan realitas kompleks sektor perumahan di Indonesia.

"Benar, backlog memang tinggi. Tapi backlog itu tidak otomatis berarti permintaan efektif juga tinggi. Banyak rumah tangga yang butuh rumah, tapi belum tentu punya kemampuan finansial untuk membeli," jelas Ronny.

Menurut Ronny, di sinilah letak perbedaan antara need (kebutuhan) dan demand (permintaan) dalam sektor perumahan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang tinggi itu tingkat kebutuhan, bukan permintaan. Karena daya beli stagnan, harga rumah naik terus, sementara pendapatan masyarakat jalan di tempat," katanya.

Ia menyebut harga rumah di Indonesia nyaris selalu naik setiap tahun, bahkan di tengah stagnasi ekonomi. Sementara itu, biaya hidup dan bunga kredit yang relatif tinggi makin mempersempit ruang gerak kelas menengah dan bawah untuk memiliki rumah.

"Pendapatan naiknya lambat, cicilan dan harga kebutuhan pokok terus naik. Jadi meskipun ada insentif seperti PPN DTP atau FLPP, itu belum cukup mengimbangi tekanan daya beli," tutur Ronny.

Kebijakan fiskal yang selama ini digadang pemerintah, seperti insentif PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) atau tambahan anggaran untuk FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dinilai hanya menolong sebagian kecil kelompok.

"Insentifnya membantu, tapi sifatnya temporer dan terbatas pada segmen tertentu. Masalah utamanya tetap ada, yaitu mismatch antara harga rumah dan kemampuan beli masyarakat. Dalam bahasa gaulnya, insentifnya kena di kepala, tapi tidak di dompet." terang Ronny.

Ronny menilai solusi yang dibutuhkan bukan hanya insentif, melainkan reformasi struktural. Pertama, turunkan biaya pembiayaan perumahan.

"Bisa lewat subsidi bunga jangka panjang atau skema shared ownership antara pemerintah, pengembang, dan konsumen," ujarnya.

Langkah kedua, menekan harga rumah dari sisi suplai, yakni dengan memperbanyak pasokan lahan murah dan membangun infrastruktur pendukung di sekitar kawasan perumahan.

"Harga tanah dan infrastruktur itu komponen utama pembentuk harga rumah," jelasnya.

Selain itu, kebijakan peningkatan pendapatan masyarakat kelas menengah bawah juga perlu dipercepat. "Kalau pendapatan tidak naik signifikan, jangankan beli rumah, buat bayar sewa pun makin berat," katanya.

Ronny juga menyoroti perlunya integrasi kebijakan perumahan dengan pembangunan perkotaan dan transportasi. "Banyak orang akhirnya beli rumah jauh dari tempat kerja karena harganya murah, tapi ongkos transportasinya malah mahal," ungkapnya.

Dengan kondisi seperti ini, ia menyimpulkan, lemahnya permintaan rumah bukan karena masyarakat kehilangan minat, tetapi karena struktur pasar dan daya beli yang tidak seimbang.

"Permintaannya ada, tapi kemampuan membayar tidak ada," pungkas Ronny.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER