Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengaku belum mengetahui adanya dugaan jual beli tanah milik negara dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh yang tengah diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menyerahkan sepenuhnya penanganan perkara tersebut kepada KPK.
"Wah, aku belum tahu tuh. Ya, biarin aja nanti Pak KPK-nya untuk menjelaskan, biar diteliti oleh Pak KPK dulu," ujar Nusron di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta Pusat, Selasa (11/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian ATR/BPN siap membantu proses penyelidikan dengan memberikan data apabila diminta oleh lembaga antirasuah tersebut. Menurut Nusron, setiap proses pengadaan tanah untuk proyek nasional seharusnya sudah melalui tahapan yang ketat sesuai prosedur yang berlaku.
"Kami prinsipnya sebagai ATR/BPN, kalau dimintain data, ya kami sampaikan. Kami katakan itu aja. Tapi pengadaan tanah, itu pasti sudah melalui prosedur yang ketat," kata Nusron.
Ia menjelaskan dalam mekanisme pengadaan lahan, penentuan harga tidak bisa dilakukan sembarangan, karena harus berdasarkan hasil penilaian lembaga appraisal yang independen.
Apabila tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang berhak dengan pemerintah, maka proses dilanjutkan melalui mekanisme konsinyasi atau penitipan uang ganti rugi di pengadilan.
"Biasanya kalau soal harga, harga itu pakai appraisal. Kalau enggak terjadi kesepakatan appraisal, ngotot konsinyasi. Begitu biasanya," ujarnya.
Lihat Juga : |
KPK tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek kereta cepat Whoosh yang dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). KPK menduga ada tanah milik negara yang justru dijual kembali ke negara melalui oknum-oknum tertentu.
"Ada oknum-oknum, di mana yang seharusnya ini milik negara, tetapi dijual lagi ke negara," kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, melansir Antara.
Asep menjelaskan sebagian lahan yang digunakan untuk proyek nasional tersebut bahkan dijual dengan harga di atas nilai pasar, padahal seharusnya negara tidak perlu membayar untuk memanfaatkan lahan miliknya sendiri.
"Kalaupun itu misalkan kawasan hutan, ya dikonversi nanti dengan lahan yang lain lagi," ujarnya.
KPK pun menyoroti adanya indikasi penggelembungan atau mark up dalam pengadaan lahan untuk proyek Whoosh.
"Kalau pembayarannya wajar, maka tidak akan kami perkarakan. Akan tetapi, bagi yang pembayarannya tidak wajar, mark up, dan lain-lain, apalagi bukan tanahnya, ini tanah negara. Kami harus kembalikan uang itu kepada negara," kata Asep.
Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga mengungkapkan dugaan mark up dalam proyek tersebut.
Dalam perhitungannya, biaya per kilometer kereta cepat Whoosh di Indonesia mencapai US$52 juta atau setara Rp869,1 miliar (asumsi kurs Rp16.714 per dolar AS), atau hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan biaya proyek serupa di China yang hanya sekitar US$17-18 juta per kilometer.
Hingga kini, KPK masih terus mendalami dugaan jual beli tanah negara tersebut, termasuk kemungkinan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan proyek strategis nasional untuk memperoleh keuntungan pribadi. Pemeriksaan lanjutan akan difokuskan pada proses pengadaan lahan dan penetapan harga.
(del/pta)