Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah belum kunjung mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 meski batas penetapan telah lewat lebih dari sebulan. Berdasarkan aturan, besaran upah diumumkan pada 21 November setiap tahunnya.
Situasi ini menimbulkan kegelisahan di kalangan buruh dan pengusaha yang membutuhkan kepastian untuk menyusun rencana tahun depan. Sebab, mulai 1 Januari, besaran UMP baru harus sudah diterapkan.
Penundaan ini memunculkan pertanyaan mengenai transparansi pemerintah dalam proses pengupahan. Di saat yang sama, para pelaku industri harus menunggu angka pasti untuk menetapkan biaya tenaga kerja mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat Ketenagakerjaan UGM Tadjudin Nur Effendi, menilai persoalan utama justru bersumber dari pemerintah sendiri yang belum memiliki formula final. Penundaan terjadi karena adanya keraguan yang mengakar di internal pemerintah.
"Ya, mengenai kenaikan UMP ini kelihatannya memang masih ada masalah, jadi nggak diumumkan secara terbuka," ujar Tadjudin kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, saat ini masih banyak perdebatan yang terjadi saat pembahasan UMP, sehingga belum bisa diumumkan. Bahkan, rencana pemerintah yang menyebutkan ingin mengubah formula perhitungan dinilai bohong.
"Formulanya itu nggak ada, ini Undang-undangnya belum ada, sehingga mereka ragu-ragu mengeluarkan formula untuk menentukan UMP-nya," terangnya.
Ia menjelaskan ketidakyakinan pemerintah diperburuk dengan tekanan dari pengusaha, yang masih menghadapi kondisi ekonomi kurang kondusif. Perusahaan takut tidak sanggup membayar jika kenaikan UMP terlalu tinggi.
"Apalagi banyak pengusaha yang masih mengeluh karena kondisinya kan belum begitu baik, mereka takut kalau dinaikkan tidak sanggup bayarkan itu kan jadi masalah," katanya.
Tadjudin mengklaim sudah melihat bocoran daftar UMP dari sejumlah provinsi. Namun, pemerintah tampaknya belum siap merilis angka-angka tersebut secara resmi.
"Saya sudah dapat daftar UMP di tiap provinsi tapi kelihatannya itu nggak diterbitkan, saya dapat bocoran dari teman saya," ungkapnya.
Ia menilai perdebatan mengenai tuntutan buruh yang meminta kenaikan 8,5 sampai 10,5 persen turut menjadi penyebab keraguan pemerintah. Kenaikan itu dinilai terlalu tinggi oleh dunia usaha.
"Jadi menurut hemat saya ya memang pemerintah belum berani mengeluarkannya secara terbuka," ujarnya.
Tadjudin memperkirakan pemerintah masih menyiapkan argumen detail mengenai formula upah sebelum diumumkan. Ia melihat waktu menuju 1 Januari dipakai pemerintah untuk mematangkan hitungan dan dasar hukum.
"Mungkin mereka mematangkan formulanya dan cara perhitungannya dan apa argumentasinya formula itu. Itu menurut hemat saya, mengapa tertunda-tunda," terangnya.
Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai pemerintah tidak menjalankan regulasi sebagaimana mestinya. Penetapan UMP sudah jelas diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Ya, menurut saya memang seharusnya sesuai regulasi PP 36/2021 dengan sangat jelas kan upah minimum provinsi harus ditetapkan paling lambat 21 November dan upah minimum kabupaten/kota per awal Desember 2025 untuk bisa nanti penetapan upah minimum itu berlaku di 1 Januari 2026," kata Timboel.
Ia menegaskan Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya sudah mengeluarkan sikap. Ketidaktegasan ini membuat ketidakpastian semakin besar.
"Saat ini saya menilai Kementerian Ketenagakerjaan masih belum berani dan masih bimbang. Yang seharusnya dia sudah bisa mengeluarkan," ujarnya.
Timboel mengkritik penetapan tahun lalu yang ditentukan langsung Presiden Prabowo Subianto di angka seragam 6,5 persen. Ia menilai kebijakan itu tidak adil karena kondisi ekonomi tiap provinsi berbeda.
"Kalau tahun lalu memang presiden yang menetapkan, tapi itu kan nggak tepat gitu ya 6,5 persen yang ditetapkan oleh presiden berlaku seluruhnya sama dengan di seluruh provinsi. Nah, ini kan nggak betul karena inflasi dan pertumbuhan ekonomi provinsi masing-masing provinsi itu berbeda. Kalau disamakan ya nggak adil," tegasnya.
Ia mencontohkan, Maluku Utara yang pertumbuhan ekonominya bisa mencapai 30 persen. Menurutnya, penyamarataan upah justru merugikan provinsi yang ekonominya tumbuh cepat.
"Pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara itu bisa sampai 30 persen. Nah, ini kan artinya ini menjadi bagian yang tidak fair kepada mereka," lanjutnya.
Timboel menekankan penundaan ini memperburuk nasib buruh yang menunggu kepastian kenaikan upah. Ketidakjelasan ini membuat mereka tidak bisa memperkirakan daya beli tahun depan.
"Nah, jadi keterlambatan ini memang menjadi persoalan bagi pekerja untuk mendapatkan kepastian, berapa kenaikan upah di 2026 nanti, di 1 Januari," katanya.
Ia menilai pengusaha juga pasti merasakan dampak besar dari penundaan ini. Mereka tidak bisa menyusun rencana biaya tenaga kerja atau labor cost untuk 2026.
"Demikian juga pengusaha akan menjadi kesulitan menetapkan dalam Rencana pembiayaan buruh kedepan. Itu kan ada labor cost yang harus ditetapkan untuk pembiayaan di 2026. Sampai sekarang kan belum tahu," ujar Timboel.
[Gambas:Photo CNN]
Menurutnya, ketidakpastian ini membuat perusahaan sulit mengalokasikan anggaran dengan tepat. Ia menegaskan kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut.
"Nah, ini kan menjadi kesulitan bagi pengusaha untuk mengalokasikan anggarannya nanti," imbuhnya.
Timboel bahkan menyarankan agar gubernur tidak lagi menunggu keputusan pusat. Ia meminta Dewan Pengupahan Daerah segera memberi rekomendasi definitif.
"Dengan kondisi seperti ini menurut saya ya sebaiknya udah lah gubernur meminta Dewan Pengupahan Daerah membicarakan dan langsung mengusulkan kepada gubernur," ucapnya.
Mengenai angka kenaikan, ia memperkirakan kisaran 6 hingga 6,5 persen akan menjadi pilihan realistis. Angka ini dianggap cukup untuk mengimbangi inflasi 2026 dan menjaga daya beli buruh.
Meski demikian, ia mengingatkan tantangan ekonomi tahun depan tetap berat. Ketidakpastian global, risiko bencana, dan pertumbuhan yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen dinilai akan menekan upah riil buruh, sehingga keputusan UMP harus segera diambil agar semua pihak memiliki kepastian.
"Tapi secara rata-rata, keseluruhan antara 6-6,5 persen itu cukup bisa nanti untuk mengimbangi inflasi di 2026," pungkas Timboel.
[Gambas:Video CNN]