Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai pemerintah tidak menjalankan regulasi sebagaimana mestinya. Penetapan UMP sudah jelas diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Ya, menurut saya memang seharusnya sesuai regulasi PP 36/2021 dengan sangat jelas kan upah minimum provinsi harus ditetapkan paling lambat 21 November dan upah minimum kabupaten/kota per awal Desember 2025 untuk bisa nanti penetapan upah minimum itu berlaku di 1 Januari 2026," kata Timboel.
Ia menegaskan Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya sudah mengeluarkan sikap. Ketidaktegasan ini membuat ketidakpastian semakin besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini saya menilai Kementerian Ketenagakerjaan masih belum berani dan masih bimbang. Yang seharusnya dia sudah bisa mengeluarkan," ujarnya.
Timboel mengkritik penetapan tahun lalu yang ditentukan langsung Presiden Prabowo Subianto di angka seragam 6,5 persen. Ia menilai kebijakan itu tidak adil karena kondisi ekonomi tiap provinsi berbeda.
"Kalau tahun lalu memang presiden yang menetapkan, tapi itu kan nggak tepat gitu ya 6,5 persen yang ditetapkan oleh presiden berlaku seluruhnya sama dengan di seluruh provinsi. Nah, ini kan nggak betul karena inflasi dan pertumbuhan ekonomi provinsi masing-masing provinsi itu berbeda. Kalau disamakan ya nggak adil," tegasnya.
Ia mencontohkan, Maluku Utara yang pertumbuhan ekonominya bisa mencapai 30 persen. Menurutnya, penyamarataan upah justru merugikan provinsi yang ekonominya tumbuh cepat.
"Pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara itu bisa sampai 30 persen. Nah, ini kan artinya ini menjadi bagian yang tidak fair kepada mereka," lanjutnya.
Timboel menekankan penundaan ini memperburuk nasib buruh yang menunggu kepastian kenaikan upah. Ketidakjelasan ini membuat mereka tidak bisa memperkirakan daya beli tahun depan.
"Nah, jadi keterlambatan ini memang menjadi persoalan bagi pekerja untuk mendapatkan kepastian, berapa kenaikan upah di 2026 nanti, di 1 Januari," katanya.
Ia menilai pengusaha juga pasti merasakan dampak besar dari penundaan ini. Mereka tidak bisa menyusun rencana biaya tenaga kerja atau labor cost untuk 2026.
"Demikian juga pengusaha akan menjadi kesulitan menetapkan dalam Rencana pembiayaan buruh kedepan. Itu kan ada labor cost yang harus ditetapkan untuk pembiayaan di 2026. Sampai sekarang kan belum tahu," ujar Timboel.
Menurutnya, ketidakpastian ini membuat perusahaan sulit mengalokasikan anggaran dengan tepat. Ia menegaskan kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut.
"Nah, ini kan menjadi kesulitan bagi pengusaha untuk mengalokasikan anggarannya nanti," imbuhnya.
Timboel bahkan menyarankan agar gubernur tidak lagi menunggu keputusan pusat. Ia meminta Dewan Pengupahan Daerah segera memberi rekomendasi definitif.
"Dengan kondisi seperti ini menurut saya ya sebaiknya udah lah gubernur meminta Dewan Pengupahan Daerah membicarakan dan langsung mengusulkan kepada gubernur," ucapnya.
Mengenai angka kenaikan, ia memperkirakan kisaran 6 hingga 6,5 persen akan menjadi pilihan realistis. Angka ini dianggap cukup untuk mengimbangi inflasi 2026 dan menjaga daya beli buruh.
Meski demikian, ia mengingatkan tantangan ekonomi tahun depan tetap berat. Ketidakpastian global, risiko bencana, dan pertumbuhan yang diperkirakan hanya sekitar 5 persen dinilai akan menekan upah riil buruh, sehingga keputusan UMP harus segera diambil agar semua pihak memiliki kepastian.
"Tapi secara rata-rata, keseluruhan antara 6-6,5 persen itu cukup bisa nanti untuk mengimbangi inflasi di 2026," pungkas Timboel.
(pta)