Ronny menilai pada Juli lalu kesepakatan AS-RI memang diumumkan lebih cepat dari kesiapan substansinya. Banyak detail teknis belum beres, dari komitmen ekspor hingga penegasan payung hukumnya.
Menurutnya, bisa jadi Indonesia tidak ingin terjebak dalam 'kesepakatan politik' yang tidak punya pondasi regulasi kuat. Namun, ketidaktegasan itu akhirnya terlihat sebagai kebingungan, bukan kehati-hatian strategis. Memang ada beberapa poin dalam kesepakatan tersebut yang merugikan Indonesia.
"Misalnya, potensi pembatasan kebijakan hilirisasi, ketentuan asal barang yang tidak memberi nilai tambah substansial bagi industri nasional, sampai kewajiban ekspor yang berisiko memundurkan agenda industrialisasi. Jika poin-poin itu tidak direvisi, maka kesepakatan tersebut lebih menguntungkan Washington daripada Jakarta," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Guru Besar Universitas Airlangga Rahma Gafmi mengatakan jika kesepakatan dagang dibatalkan maka akan berdampak pada ketidakjelasan pelaku bisnis, terkait ekspor Indonesia ke AS. Eksportir RI kehilangan akses pasar preferensial ke AS dengan tarif 19 persen.
"Selain itu juga investor asing semakin takut datang ke Indonesia dan lebih berhati-hati karena ketidakpastian regulasi," katanya.
Rahma mengatakan batalnya kesepakatan dagang AS-RI bisa dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif bisa dilihat dari proteksi industri dalam negeri.
Jika tarif 19 persen batal diterapkan, produk lokal seperti tekstil, elektronik, tidak harus bersaing ketat dengan produk lokal AS atau negara lain yang tarifnya lebih rendah. Ini bisa memberi ruang bagi UMKM dan sektor padat karya untuk tumbuh tanpa tekanan harga.
Selain itu, Indonesia bisa menghindari ketergantungan pada satu pasar hanya AS, dan menjaga stabilitas neraca perdagangan dengan diversifikasi ke Tiongkok, ASEAN, Uni Eropa, dan Afrika Selatan. Sedangkan dari sisi negatifnya bisa merugikan Indonesia karena hilangnya akses pasar preferensial.
"Dapat menurunkan daya saing, karena tarif 19 persen untuk ekspor RI ke AS seperti CBR, tekstil, produk pertanian, perikanan bisa membuat harga jual jadi menurun," katanya.
Ia menduga Indonesia mundur dari komitmen penghapusan hambatan non-tarif dan beberapa ketentuan di sektor digital, energi, atau standar lingkungan yang dianggap terlalu berat untuk dijalankan.
Kemudian, adanya pergeseran prioritas ekonomi domestik, msalnya proteksi industri, keamanan pangan atau isu ketenagakerjaan yang membuat pemerintah Indonesia meninjau ulang kesepakatan.
"Bisa juga karena faktor eksternal seperti fluktuasi nilai tukar, tekanan inflasi, atau dinamika geopolitik juga bisa mempengaruhi keputusan, karena hal ini menyangkut suatu kondisi dimana dinamika global sangat uncertainty," katanya.
(pta)