Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menuntut reformasi sistem perpajakan Indonesia usai 'cemburu' dengan penerimaan pajak DKI Jakarta yang lebih besar.
Ia menilai sentralisasi sistem pajak melahirkan ketimpangan. Beban lingkungan dan infrastruktur sepenuhnya ditanggung daerah penghasil, sedangkan penerimaan pajak mengalir deras ke wilayah kantor pusat perusahaan tersebut berdiri.
"Problem kita ini adalah sentralisasi. Saya berikan contoh, pabrik di Jawa Barat itu banyak banget, kawasan industrinya terhampar. Banjirnya kami yang terima; pencemaran lingkungan kami yang terima; mobil-mobil gede yang lewat tiap hari yang menghancurkan jalan kabupaten, jalan provinsi, kami yang harus memperbaiki," jelasnya di Bandung, Jawa Barat, Rabu (10/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang akrab disapa KDM itu menyebut Jawa Barat menampung ribuan industri, sekaligus menanggung dampak operasionalnya. Akan tetapi, sebagian besar perusahaan memiliki kantor pusat di Jakarta.
Akibatnya, bagi hasil pajak untuk Jabar hanya sekitar Rp140 triliun. Penerimaan tersebut jauh tertinggal dari DKI Jakarta yang sanggup mengumpulkan lebih dari Rp1.000 triliun hanya dari duit pajak.
"Keinginannya adalah pemerintah pusat didorong agar ya kalau bayar pajak dihitung di mana tempat usahanya berada, bukan tempat di mana kantornya berada," tuntut KDM.
"Pajak, ada PPh (pajak penghasilan), ada PPN (pajak pertambahan nilai). Pabriknya di mana itu PPh? PPN-nya di mana? Di situ ada desa. Bagaimana kasih saja bagi hasil desa ini misalnya tiga persen. Dari tiga persen itu, desa itu pembangunannya lima tahun tuh selesai," jelasnya.
Jika pemerintah menerapkan pola pembagian pajak yang lebih adil, menurut Kang Dedi Mulyadi, daerah akan memiliki kecukupan fiskal tanpa harus bergantung pada anggaran pusat.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman menilai tuntutan KDM valid. Namun, tidak bisa dijawab dengan desentralisasi pajak secara penuh.
Rizal mengamini kontribusi ekonomi Jawa Barat besar, tapi tidak sepenuhnya tercermin dalam penerimaan yang kembali ke daerah. Persepsi ketidakadilan juga diperparah kerangka UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang membatasi pemda memungut pajak baru.
"Namun, struktur perpajakan yang terpusat bukan tanpa alasan, dirancang untuk menjaga stabilitas fiskal nasional dan mencegah persaingan pajak antar-daerah yang berisiko menciptakan distorsi," kata Rizal kepada CNNIndonesia.com, Senin (15/12).
"Bagi daerah dengan kapasitas ekonomi tinggi, seperti Jawa Barat, skema ini (UU HKPD) terasa menahan potensi PAD (pendapatan asli daerah). Dari perspektif nasional, pembatasan tersebut diperlukan untuk menjaga kepastian usaha, efisiensi ekonomi, serta integrasi pasar domestik agar tidak terfragmentasi oleh berbagai pungutan daerah," tuturnya.
Isu reformasi perpajakan, menurut Rizal, juga tak terlepas dari pengetatan fiskal pusat dan penyesuaian dana transfer ke daerah (TKD). Transfer yang melambat membuat daerah mulai merasakan tekanan likuiditas yang selama ini tertutup dana pusat. Kondisi itu menyingkap lemahnya struktur PAD dan memicu kesadaran bahwa ketergantungan TKD membuat fiskal daerah rentan.
"Tuntutan reformasi muncul sebagai respons atas shock fiskal tersebut. Ke depan, arah reformasi perpajakan sebaiknya difokuskan pada penyempurnaan mekanisme bagi hasil dan insentif fiskal yang lebih mencerminkan kontribusi ekonomi daerah, bukan pada penambahan jenis pajak daerah," tuturnya.
"Pemerintah pusat dapat memperluas skema revenue sharing dan memperkuat peran opsen secara lebih proporsional. Sementara, pemerintah daerah perlu meningkatkan kualitas belanja dan akuntabilitas fiskal agar tuntutan keadilan di sisi penerimaan sejalan dengan efektivitas penggunaan anggaran," pungkas Rizal.