SEJARAH FESYEN

Glamor, Gaya Fesyen Berkabung Era Victoria

CNN Indonesia
Selasa, 28 Okt 2014 07:45 WIB
Pakaian hitam diidentikan dengan dukacita dan ratapan. Namun, di era Victoria, berkabung menyaingi pernikahan dalam hal kemegahan, etiket, dan fesyen.
Di era Victoria, fesyen berkabung menyaingi pernikahan dalam hal kemegahan, etiket, dan fesyen (Getty Images via Thinkstock/Denis Doyle)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di masa ini, berdukacita atas kematian salah seorang anggota keluarga berarti mengenakan pakaian hitam paling formal di lemari. Namun, 150 tahun lalu saat berkabung adalah alasan menyimpan pakaian terbaik, dan membeli seluruh isi lemari yang sesuai dengan momen berduka.  

Di era Victoria, berkabung menyaingi pernikahan dalam hal kemegahan, etiket, dan fesyen. Tema tersebut lah yang dieksplorasi di pameran New York Metropolitan Museum of Art Costume Institute belum lama ini.

Pameran bertajuk Death Becomes Her: A Century of Mourning Attire berfokus pada tahun ketika industri berkabung meledak. Pada era 1815 - 1915, saat golongan kaya dan miskin sama-sama dibayar untuk menunjukkan wajah muram, dan majalah fesyen mengangkat mode berdukacita paling didambakan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini adalah persimpangan fesyen di mana seseorang dapat memproyeksikan kesedihan yang sangat personal," kata Jessica Regan, asisten kurator pameran seperti dilaporkan dari laman CNN.  

Berduka gaya Victoria

Bagi masyarakat kelas atas di Barat, berkabung tidak bisa dianggap remeh. Saat laki-laki diizinkan melanjutkan hidup mereka, buat perempuan berkabung menjadi pekerjaan tersendiri.

Seorang janda secara visual dapat memperlihatkan masa berdukanya selama lebih dari dua tahun, meskipun kehilangan anak atau orang tua hanya perlu satu tahun masa berduka.

Bagian paling menonjol dari pameran tersebut adalah pakaian berkabung. Itu merupakan manifestasi yang terlihat dari kesedihan. Pada 1863 Nannie Haskins, seorang remaja asal Tennessee, membuat catatan yang ditampilkan di pameran. Remaja itu membuat korelasi yang polos.

"Apa peduli saya apakah saya menjadi diri saya atau tidak? Saya tidak memakai pakaian hitam karena itu sudah menjadi diri saya. Saya mengenakan ratapan karena sesuai dengan perasaan saya."

Namun hal tersebut tidak membuat para pelayat berhenti berpakaian modis. Sementara kelas bawah kerap memakai tema hitam dalam menanggapi kematian orang yang dicintai, kelas atas diikuti kelas menengah membeli gaun hitam baru, payung, topi, dan bros.

Pakaian berkabung mewah seperti kain kasa sutra berkerut kaku dengan sentuhan akhir nuansa kelam menjadi kain ikonik kematian, menurut Regan. Kain hitam yang tak luntur banyak dicari kala itu.

Nuansa hitam - hitam yang tidak memudar menjadi coklat atau biru menjadi tampilan yang menjadi simbol tontonan kekayaan pribadi, sama halnya seperti duka.

Dedikasi atas gaun berkabung paling populer adalah yang disebut Black Ascot dari 1910. Saat Edward VII meninggal beberapa hari sebelum digelarnya pacuan kuda, para aristokrat Inggris hadir dengan regalia hitam elegan, termasuk topi, yang mencerminkan tren saat itu.       

"(Busana kematian) adalah cara berbagi kesedihan seseorang dengan masyarakat. Ini juga mencerminkan status ekonomi dan sosial."

Fesyen berkabung dalam arus utama

Seperti kebanyakan industri, bisnis berkabung pun disegarkan oleh revolusi industri, membuat produksi tekstil lebih cepat dan murah. Hal tersebut memungkinkan tekstil ini menjadi lahan menguntungkan dengan memproduksi kain berkabung khusus yang dulu terbatas bagi orang sangat kaya hingga kelas menengah.

"Industrialisasi tekstil menjadi lebih terjangkau untuk segmen masyarakat lebih luas," kata Regan. "Pengecer barang-barang berkabung berkembang menjadi skala yang jauh lebih besar, dengan sasaran konsumen kelas menengah, mengambil keuntungan dari tekstil yang banyak tersedia."

Industri ini juga didorong oleh lahirnya majalah fesyen. Majalah-majalah itu membawa fesyen kelas tinggi dan kepekaan masyarakat kelas atas kepada konsumen kelas pekerja.  

Kematian fesyen berkabung

Tradisi berkabung menurun setelah mereka memuncaki dunia mode kala itu. Pada awal abad ke-20, busana dan standar sosial ketat kehilangan cengkeraman di masyarakat.

Dunia diguncang oleh Perang Dunia I yang menampilkan kesedihan secara berlebihan. Fesyen berkabung berlebihan dilihat sebagai ketidakpekaan dan kekurangajaran.

"Gaun berkabung rumit dianggap sebagai menempatkan perhatian lebih pada orang yang berkabung, dan dianggap pamer, bukannya berfokus pada kehilangan almarhum."

Perubahan peran perempuan juga menyebabkan runtuhnya fesyen berkabung ini. Tatkala perempuan terlibat dalam perang dan bergabung dengan angkatan perang, periode dalam masyarakat Victorian tak lagi dianggap kompatibel dengan kehidupan mereka.

Namun, tradisi itu berlanjut selama beberapa dekade sebelum akhirnya dipraktikkan hingga kini. Hitam masih dipakai, seperti yang telah dilakukan sejak Abad Pertengahan. Namun kesedihan menjadi pengalaman yang jauh lebih pribadi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER