Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan, Pasar Santa menjadi buah bibir masyarakat kota Jakarta. Pasar yang dilintasi Jalan Cisanggiri dan Jalan Cipaku, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini dibangun pada 1971.
Awalnya adalah pasar tanpa bentuk permanen. Layaknya pasar-pasar tradisional lainnya, pasar ini juga beralaskan tanah. Bila musim penghujan tiba, pasar ini berubah menjadi becek dan kumuh.
Perbaikan fisik bangunan Pasar Santa dilakukan pada 2007 lalu. Namun tetap saja tak banyak pembeli yang melirik. Menurut Bambang Sugiarto, Kepala Pasar Santa, selama tujuh tahun sejak direnovasi, pasar ini seakan mati suri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu pedagang diberi tempat gratis tidak ada yang mau," kata Bambang berseloroh, saat dihubungi melalui telepon, Sabtu (15/11). Saat Bambang pertama kali ditugaskan menjabat sebagai kepala pasar, hanya 300-an kios yang ditempati dari seribu lebih kios yang tersedia di tiga lantai.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan Pasar Santa tersisihkan. Pertama, semakin menjamurnya minimarket dan supermarket modern di sekitar wilayah pasar dan lokasi pasar yang tidak berada di pinggir jalan protokol.
Bambang tak kurang akal, ia sempat mencoba mengajak komunitas batik untuk membuka kios di lantai satu. Namun hal ini tak bertahan lama, komunitas batik ternyata kurang diminati pasar.
Pasar Santa mulai bergeliat setelah kedatangan komunitas pecinta kopi. Adalah kedai kopi ABCD (A Bunch of Caffeine Dealer) yang memompa kembali denyut nadi Pasar Santa.
Meski sudah menyewa kios di Pasar Santa sejak 2011, namun kios tersebut hanya dipakai sesekali saja untuk sebagai tempat latihan meracik kopi. Maklum sang pemilik kedai kopi ABCD, Hendri Kurniawan adalah jawara barista di berbagai perlombaan nasional maupun internasional.
Pada medio Juli 2014, Pasar Santa baru menunjukkan secercah kehidupan. Setelah masuknya komunitas pecinta kopi, beberapa anak muda lain yang tertarik berbisnis mulai menyewa kios di lantai 1 Pasar Santa. Mereka membawa ide-ide bisnis yang segar. Salah satu alasan utama adalah karena harga sewa kios yang masih relatif murah, berkisar Rp 3,5 juta pertahun.
"Sebenarnya seluruh kios di lantai satu sudah disewa orang sampai 2027, namun tidak dipakai, akhirnya saya pertemukan antara pemilik kios dengan para peminat," ujar Bambang.
Saat ini seluruh kios di lantai 1 Pasar Santa sudah habis disewa oleh para pebisnis muda. Tak hanya itu, malahan basement pun mulai dilirik oleh mereka yang tidak kebagian kios di lantai satu. Komunitas mainan misalnya, memilih untuk membangun "kerajaan mainan" di sudut timur basement Pasar Santa bersama dengan pedagang-pedagang buah dan sayur lain.
Meski tengah naik daun, Bambang tak cukup puas. Dirinya masih memikirkan bagaimana pengembangan pasar ini ke depan. Pada Jumat (14/11) lalu, misalnya, Bambang baru saja melakukan rapat koordinasi dengan pihak-pihak lain terkait pengembangan lokasi parkir juga toilet pasar yang selama ini menjadi keluhan pengunjung maupun penyewa kios.