KEDOKTERAN FORENSIK

Mengenal Prosedur Identifikasi Jenazah Melalui DNA

Merry Wahyuningsih | CNN Indonesia
Rabu, 31 Des 2014 15:36 WIB
Saat terjadi sebuah bencana, jenazah korban yang ditemukan tidak selalu utuh. Salah satu cara untuk mengidentifikasikannya adalah melalui uji DNA.
Ilustrasi (Thinkstock/Frans Rombout)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tim Identifikasi Korban Bencana (Disaster Victim Identification atau DVI) Polri di Posko Identifikasi Bandara Juanda, Surabaya kini tengah mengumpulkan sampel DNA dari korban AirAsia QZ8501. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasikan jenazah.

DNA (deoxyribonucleic acid) atau asam deoksiribonukleat adalah sejenis biomolekul yang menyimpan dan menyandi instruksi-instruksi genetika setiap organisme. Setiap orang memiliki DNA yang unik, seperti halnya sidik jari. Karena itu, pengujian DNA menjadi salah satu cara untuk mengidentifikasi jenazah yang tidak dikenal.

Saat terjadi sebuah bencana, jenazah korban yang ditemukan tidak selalu utuh. Dalam kondisi seperti ini, identifikasi melalui DNA menjadi cara terbaik. Menurut Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio, identifikasi jenazah dengan menggunakan DNA memiliki tingkat keakuratan yang sangat tinggi, yakni mencapai 99,9 persen, seperti dikutip dari detikHealth, Rabu (31/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana prosedurnya?

Pertama-tama, tim forensik akan mengambil sampel DNA dari keluarga sedarah, lalu mengisolasi dan memperbanyak DNA, memisahkan berdasarkan muatannya secara elektroforesis, dan terakhir pembacaan. Proses ini biasanya hanya membutuhkan satu hari, namun proses analisis dan pembuatan laporan bisa memakan waktu lebih lama.

Proses yang cukup sulit dalam pengujian DNA adalah isolasi. Tempat yang lembap dan banyak jamur menyulitkan dalam isolasi DNA, sebab DNA lain bisa mengintervensi. Misalnya untuk mengidentifikasi jenazah seseorang di kuburan massal akan menemui kesulitan karena telah bercampur dengan jenazah lainnya. Maka itu, sumber DNA yang digunakan adalah tulang.

Untuk mengisolasi DNA, penyidik ataupun peneliti mengambil sumber DNA, misalnya dari darah. Kemudian darah merah dan darah putih dipecah membrannya. DNA tersebut akan diperbanyak hingga jutaan kali. Proses pengkopian ini menggunakan prinsip alamiah, sebagaimana DNA di dalam tubuh manusia yang juga diperbanyak. Bahan untuk memperbanyak DNA harus sama dengan yang digunakan di tubuh.

Semakin banyak sampel yang diambil maka DNA yang diperoleh akan semakin banyak. Namun, DNA untuk forensik tidak perlu banyak-banyak. Setitik darah saja sudah bisa dijadikan bahan untuk mengidentifikasi.

"Kalau masih baru (jenazahnya) biasanya masih mudah (diidentifikasi dengan DNA). Kalau kasus pembunuhan juga biasanya enggak sulit. Yang sulit itu kalau sudah lama, sudah membusuk, dan ini juga tergantung di mana jenazah ditemukan," kata Herawati Sudoyo, dokter, peneliti, dan penganalisa DNA forensik dari Lembaga Biologi Molekul Eijikman, dilansir dari detikHealth.

Menurut Hera, sampel DNA bisa berasal dari bagian tubuh mana saja, mulai dari darah, mukosa pipi, saliva (air liur), hingga sperma. Namun, darah paling banyak digunakan karena relatif lebih mudah mendapatkannya pada orang yang hidup. Sedangkan untuk jenazah, jika kondisinya sudah membusuk sehingga jaringan lunak atau dalam rusak, tes DNA masih bisa dilakukan menggunakan tulang.

Untuk melakukan uji DNA melalui darah, tim forensik harus memiliki sampel dari keluarga kandung. Yang terbaik adalah sampel dari orang tua, atau keluarga sedarah seperti kakak atau adik.

"Tapi kalau (kondisi) fisik masih utuh, enggak perlu dilakukan identifikasi melalui DNA," katanya.

(Baca juga: Mengenal Ante Mortem Pada Proses Identifikasi Korban Bencana)

(mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER